Dituduh Buat Pagar Laut oleh Pihak Agung Sedayu Group, Begini Reaksi Nelayan Tangerang
Nelayan dan warga sekitar bahkan sempat dituduh sebagai pihak yang membuat pagar laut
REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Misteri keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer (km) di perairan Tangerang belum sepenuhnya terbuka. Nelayan dan warga sekitar bahkan sempat dituduh sebagai pihak yang membuat pagar laut dari bambu tersebut.
Adi, seorang nelayan di Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang menyangkal keras jika para warga dan nelayan disebut yang membangun pagar laut tersebut. “Ya dipikir saja, Mas. Masa nelayan mau bikin susah diri sendiri,” ujar dia saat ditemui Republika, Kamis (9/1/2025).
Para nelayan menyampaikan betapa merepotkannya keberadaan pagar laut tersebut. Buat Adi dan nelayan di Tanjung Pasir, tak ada misteri soal mengapa ada Lagar Laut. Mereka mengaitkan keberadaan penghalang di lautan itu dengan perluasan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sejumlah pihak menuding warga dan nelayan sendiri yang membangun pagar laut di perairan Tangerang. Di antara yang melayangkan dugaan itu adalah pihak pengembang PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG). “Berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid kepada Republika.
Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang mereka ketahui, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut.
“Karena sebenarnya yang kami tahu itu merupakan tanggul laut yang terbuat dari bambu yang biasanya difungsikan untuk pemecah ombak, dan akan dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tambak ikan di dekat tanggul laut tersebut, atau digunakan untuk membendung sampah seperti yang ada di Muara Angke. Atau bisa jadi sebagai pembatas lahan warga pesisir yang kebetulan tanahnya terkena abrasi,” ungkapnya.
Muannas menyampaikan itulah beberapa kemungkinan yang terjadi, bahwa pemagaran laut berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat sekitar. “Itu adalah tanggul laut biasa yang terbuat dari bambu, yang dibuat dan diinisiatif dan hasil swadaya masyarakat, yang kami tahu. Tidak ada kaitan sama sekali dengan pengembang karena lokasi pagar tidak berada di wilayah PSN maupun PIK 2,” kata dia.
Tidak logis
Adi menuturkan, pagar laut di perairan mereka sekitar tiga bulan lalu sudah dilaporkan. Mereka melayangkan aduan ke lantamal setempat, namun tak kunjung ditindak. Menurut Adi, keberadaan pagar laut di Tanjung Pasir yang kemudian mengular hingga jauh ke barat Tangerang. Pagar-pagar itu bervariasi bentuknya. Mulai dari yang sudah dibeton dasarnya, patok-patok bambu yang ditancapkan ke dasar laut, hingga yang bisa dinaiki manusia dewasa.
Hanya ada beberapa bukaan ke laut lepas di pagar-pagar itu. Biasanya celah tersebut ada di muara sungai. “Biasanya kita berlayar beli lima liter sekarang bisa sampai 15 liter,” ujar dia saat ditemui Republika, Kamis (9/1/2025). Hal ini karena sekarang para nelayan harus memutar jauh jika hendak memancing ke laut lepas.
Walhasil, ini membuat para nelayan tak bisa juga lebih lama di laut. “Dulu bisa bawa pulang sekitar dua kuintal (200 kilogram) ikan. Sekarang paling 20 kilo,” kata dia. Uang yang bisa dihasilkan para nelayan sebelum ada pagar laut mencapai Rp 150 ribu per hari. Sekarang Rp 25 ribu saja.
Nelayan penjaring ikan juga tak bisa lagi menebar jala di tepian karena dihalangi pagar laut. Tak hanya karena dipagari, menurutnya pengerjaan juga meninggalkan limbah yang membuat ikan kian habis populasinya di pinggiran.
Di Tanjung Pasir, ada sekitar 370 perahu nelayan. Belakangan, tak sedikit nelayan yang kemudian menambatkan perahu mereka, hanya digunakan mengantar wisatawan ke Kepulauan Seribu atau lokasi pemancingan.
Warga Kampung Pasir, kata Adi, sudah lelah melawan. Mereka juga ketakutan. Ia menuturkan, tak sedikit warga yang berunjuk rasa di masa lalu ditangkap. “Yang terakhir ditangkap karena bela nelayan baru keluar bulan delapan tahun lalu,” ujarnya.
Sementara itu, menurut warga Tanjung Pasir lainnya, Yani pagar laut itu sedianya lebih tepat disebut tanggul. Tanggul tersebut kedepannya akan diuruk. “Bukan pemagaran, gak ada cerita laut di pagar, sejak kapan laut dipagar? Beda gak nyambung. Sebenarnya itu pembuatan tanggul dimana tanggul itu adalah batas rehabilitasi yang akan dipekerjakan oleh pengembang,” katanya.
“Makanya ada relokasi itu jelas bahwa ini tanggul menjulur ke permukaan sekian meter ke sekian meter nah nanti direhab pengerukan dan sebagainya itu area pengusaha, pengembang,” katanya.
Ia pun tak menafikan jika pemagaran tersebut memang ditolak oleh para nelayan. Pasalnya, ia mengatakan, pagar tersebut secara jelas mengganggu jalur aktivitas nelayan. “Kalau pemagaran itu akan ditentang semua nelayan nelayan akan menolak keras lah jalur aktivitas melaut dari mana?”
Kendati demikian, menurutnya jika dampak dari adanya pagar laut bagi nelayan tersebut sebenarnya bisa diperbaiki seperti beralih dari profesi nelayan hingga pembuatan kolam labuh. Ia mengatakan kolam tersebut nanti bisa digunakan oleh nelayan untuk menambatkan perahunya tanpa terhalang oleh pagar.
“Dampak itu bukannya tidak bisa diperbaiki atau direalisasikan karena pengembang dan pemerintah tidak fokus salah satu persoalan satu titik…,” katanya.
“Kolam labu itu kan nah itu saya perjuangkan. Bagaimana pihak pemerintah untuk memerintahkan dia ada pintu masuk keluar tidak ada perkara dengan tanggul. Makanya nyamannya nelayan itu dari kolam labu bagian dari pelabuhan,” katanya.
Di sisi lain, ia mengatakan jika ada dampak positif dari pembangunan yang ada di daerah Tanjung pasir. Meski ia tak menafikan ada dampak negatif juga yang dirasakan masyarakat.
“Makanya yang positif seperti saluran air, rumah pompa baik dari Pemda atau pengusaha, ada yang dipekerjakan nah mungkin ada sebagian kecil yang terlupakan atau aspirasi belum sampai contoh untuk meningkatkan kualitas hidup nelayan yang ketergantungan di sungai atau laut,” katanya.
Sejauh ini, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyegel sebagian pagar laut tersebut. Kementerian menyatakan masih mencari-cari dalang di balik pemagaran itu. Sementara pihak pengembang PIK, Agung Sedayu Group telah menyangkal soal peran mereka atas keberadaan objek yang menghebohkan tersebut.