Dampak Buruk Karhutla Dinilai akan Lebih Besar Saat Pandemi

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut

ANTARA/Syifa Yulinnas
Kebakaran hutan di Aceh Barat. (Ilustrasi)
Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Dampak buruk kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dinilai bakal lebih besar bagi masyarakat selama masa pandemi Covid-19. Terutama di sektor kesehatan.

Kepala Seksi Pengendalian Karhutla Dinas Kehutanan Sumsel Syafrul Yunardi di Palembang, Rabu (9/9), mengatakan risiko terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bakal lebih rentan jika bencana asap akibat karhutla terjadi.

“Ketika ada pandemi Covid-19 dampaknya jauh lebih besar menyerang paru-paru, kami sudah menjelaskan ke masyarakat risiko apa saja yang bakal terjadi,” kata Syafrul di sela acara pengenalan dan ujicoba pemanfaatan Si Pakar Hutan secara virtual, Rabu.

Selain dari segi kesehatan, lanjutnya, dampak secara ekonomi terhadap karhutla juga besar. Ia mengemukakan, dirinya pernah mengukur besaran dampak karhutla yang tertuang dalam jurnal penelitiannya, dimana nilai kerugian ekonomi secara total akibat karhutla mencapai Rp 753 juta per hektare, dengan asumsi kurs dolar terhadap rupiah senilai Rp 14.000.

Berdasarkan penelitian tersebut, ironisnya pihak yang mengalami kerugian apabila hutan dan lahan terbakar mayoritas merupakan masyarakat (sebesar 59 persen), kemudian perusahaan sebesar 29 persen dan pemerintah sebesar 14 persen.

“Dan dampak itu akan lebih besar jika terjadi di lahan gambut, makanya kami selalu sosialisasi soal karhutla dan betapa besar dampaknya, karena balik-balik masyarakat juga yang paling terdampak,” kata Syafrul.

Syafrul melanjutkan Dinas Kehutanan Sumsel pun telah membangun Sistem Informasi Pemantauan Kebakaran Hutan dan Lahan (Si Pakar Hutan) sebagai upaya pencegahan dan penanganan karhutla di provinsi itu. “Si Pakar Hutan ini merupakan solusi untuk menjawab kebutuhan pemprov terhadap penguatan sistem peringatan dini karhutla,” katanya.

Ia mengemukakan pihaknya juga telah belajar dari bencana karhutla sepanjang 2015—2019, yang mana Dishut mengaku peringatan dini luput dalam sistem kebencanaan di tingkat daerah.

“Bencana sebelumnya itu lah yang menjadi pertimbangan kami membuat sistem ini, di samping juga untuk mendukung keterbukaan informasi publik sehingga masyarakat dapat memantau pengendalian karhutla,” kata dia.

Dalam sistem tersebut, kata Syafrul, Dishut juga memuat berbagai sumber data. Termasuk pula data konsesi perusahaan kehutanan yang mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).


sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler