Pengakuan Mengejutkan 2 Tentara Myanmar Serang Muslim
2 oknum tentara Myanmar mengakui pembunuhan Muslim Rohingya
REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR— Dua personel militer Myanmar mengaku diperintahkan untuk mengambil bagian dalam pembunuhan dan pemerkosaan massal terhadap Muslim Rohingya 2017 lalu.
Rekaman pengakuan Prajurit Myo Win Tun dan Prajurit Zaw Naing Tun itu diketahui difilmkan pada Juli 2020 lalu oleh Tentara Arakan, sebuah kelompok pembelot pemerintah yang kini beroposisi dengan militer Myanmar.
Video yang telah dipastikan kebenaran dan kredibilitasnya oleh Fortify Rights, organisasi non pemerintah ini juga berisi pengakuan lebih lanjut terkait kekejaman para militan Myanmar di Negara Bagian Rakhine, yang disebut PBB sebagai genosida.
"Kami menghancurkan desa Muslim dekat desa Taung Bazar. Kami melaksanakan operasi pembersihan di malam hari sesuai perintah untuk menembak semua yang terlihat dan yang terdengar. Kami menguburkan total 30 jenazah dalam satu kuburan, "kata Myo Win Tun dalam keterangan videonya yang dikutip di CNN, Kamis (10/9).
Meski telah dinyatakan kredibel, namun CNN menyatakan belum dapat mengkonfirmasi kebenaran video tersebut secara independen. Proses di balik dilakukannya sesi pengakuan tersebut juga belum diketahui, namun sudah dapat dipastikan adalah bahwa kedua tentara sekarang berada di Pengadilan Kriminal Internasional Den Haag, tempat penyelidikan krisis Rohingya berlangsung.
"Ini adalah momen monumental bagi Rohingya dan rakyat Myanmar dalam perjuangan berkelanjutan mereka untuk keadilan," kata Matthew Smith, kepala eksekutif Fortify Rights, dalam sebuah pernyataan.
Sejak 2016, ada laporan tentang kampanye kekerasan massal oleh militer Myanmar di negara bagian Rakhine yang menargetkan umat Muslim Rohingya. Lebih dari 740 ribu pengungsi didorong melintasi perbatasan ke Bangladesh, membawa serta pernyataan dan bukti sisa kekejaman yang dilakukan militan Myanmar.
Di sisi lain Pemerintah Myanmar, yang dipimpin pemenang Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, membantah keras tuduhan tersebut, mengatakan kepada Mahkamah Internasional pada Desember 2019 bahwa klaim itu tidak lengkap dan menyesatkan.
Sebaliknya mereka menyatakan bahwa operasi yang dilakukan di Rakhine adalah tindakan kontra-terorisme yang sah sebagai tanggapan atas serangan Rohingya di sebuah pos perbatasan yang menewaskan sembilan petugas polisi.
Myanmar juga menganggap jutaan warga Rohingya sebagai imigran ilegal, terlepas dari kenyataan bahwa suku Rohingya telah menetap di Rakhine selama beberapa generasi.
Sementara itu komisi pencari fakta PBB menyebut kampanye kekerasan terhadap Rohingya sebagai genosida. Doctors Without Borders memperkirakan setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama kampanye saja, termasuk 730 anak di bawah usia 5 tahun.
Meski pemerintah Myanmar terus memberikan pembelaan, nyatanya Myo Win Tun telah mengatakan dalam video pengakuannya bahwa dia dikirim pada serangan malam di sebuah desa Muslim di Kotapraja Buthidaung pada Agustus 2017, di mana petugas menyuruhnya untuk membunuh semua orang untuk memastikan bahwa ras Rohingya telah musnah.
Setelah menghancurkan desa pertama, tentara tersebut mengatakan bahwa 10 unitnya kemudian tinggal di daerah itu selama dua pekan, menghancurkan pemukiman terdekat lainnya. Dia juga mengakui bahwa unitnya terlebih dulu memperkosa para wanita sebelum menembak mereka. "Kami menguburkan total 30 mayat di satu kuburan, delapan wanita, tujuh anak, 15 pria dan orang tua," kata Myo Win Tun dalam video tersebut. "Kami menembak dan mengubur orang di desa demi desa. Totalnya sekitar 60 hingga 70 orang," kata Myo Win Tun.
Pengakuan yang tak jauh berbeda juga diungkapkan Zaw Naing Tun dalam video berbeda. Dia mengaku bekerja dengan Batalyon Infanteri Ringan ke-353 untuk memusnahkan sekitar 20 desa Muslim.
"Kami menembak mati dan memusnahkan mereka sesuai dengan perintah untuk membunuh semua, entah itu anak-anak atau orang dewasa," katanya dalam video tersebut.
Zaw Naing Tun mengatakan mereka telah menguburkan sekitar 80 penduduk desa Muslim di kuburan massal, menjarah uang, emas dan ponsel dari toko dan rumah warga Rohingya setelah membunuh mereka. Dia juga mengatakan dia sempat bertugas untuk berjaga-jaga sementara atasannya memperkosa korbannya sebelum dibunuh.
Sebelum dirilisnya video ini, tidak ada satupun anggota militer Myanmar yang mengakui kekerasan yang mereka lakukan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine.
Sangat sedikit pula anggota militer yang dituntut atas pembunuhan di wilayah tersebut, hanya tujuh tentara saja yang berhasil ditangkap di Myanmar pada 2018 karena kasus pembantaian.
Kepala Eksekutif Fortify Rights, Matthew Smith, mengatakan Myo Win Tun dan Zaw Naing Tun dapat menjadi pembuka kasus kampanye kekerasan di Rakhine, sekaligus tersangka pertama yang diadili di ICC.
"Penyelidikan ICC bersifat rahasia, yang dapat saya konfirmasi adalah bahwa dua orang muncul di pos perbatasan di Bangladesh, meminta perlindungan dan mengaku melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan warga sipil Rohingya selama operasi pembersihan 2017 di Negara Bagian Rakhine," kata Payam Akhavan, Penasihat hukum internasional untuk Bangladesh sekaligus mantan jaksa PBB.
"Mereka mengaku telah menjadi anggota pasukan militer Myanmar selama periode itu dan bertindak atas perintah dari komandan militer senior. Saya tidak dapat memastikan identitas atau lokasi mereka," sambungnya.
Seorang Rohingya yang masih berada di negara bagian Rakhine, yang meminta namanya disamarkan untuk menghindari resiko penganiayaan di masa depan, mengatakan bahwa perkembangan besar atas apa yang selama ini selalu diharapkan.
"Kami tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan betapa kami sangat senang bahwa dua mantan militer itu akan berada di ICJ untuk mengakui semua kekejaman yang dilakukan militer Myanmar terhadap Rohingya oleh," katanya.
"Orang-orang kami tidak dapat mengumpulkan banyak bukti karena banyak saksi dan korban yang ditembak mati. Sebagian besar kami memilih untuk melarikan diri dan menyelamatkan diri. Namun akhirnya kami melihat harapan bahwa para genosida akan segera dihukum," sambungnya.
sumber: https://edition.cnn.com/2020/09/09/asia/rohingya-massacre-soldier-testimony-intl-hnk/index.html
Dea Alvi Soraya