Taliban Hampir Rebut Kota Penting Afghanistan
Taliba sempat menyerang dan mengepung Kunduz.
REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Khan Agha mengaku telah mengalami kekerasan bertahun-tahun di Kunduz. Namun serangan Taliban di kota strategis timur laut Afghanistan saat pemerintah dan pemberontak sedang mempersiapkan pembicaraan damai bersejarah, membuatnya takut.
"Seperti saya, mayoritas penduduk Kunduz hidup dalam ketakutan. Melihat apa yang terjadi, apa pun bisa terjadi kapan saja," kata Agha, seorang pengemudi berusia 46 tahun, kepada Reuters.
Serangan Taliban, mengepung dan hampir merebut Kunduz akhir bulan lalu, terjadi hanya beberapa minggu sebelum pemerintah Kabul duduk dengan musuh bebuyutan mereka duduk bersama di Doha pada Sabtu (12/9). Kedua belah pihak memulai perundingan bersejarah yang bertujuan mengakhiri perang 19 tahun yang telah menewaskan dan melukai lebih dari 100 ribu warga sipil.
"Hanya beberapa jam setelah pembicaraan itu dimulai, Taliban dan pasukan pemerintah Afghanistan bentrok di seluruh Afghanistan," kata para pejabat, menggarisbawahi tantangan berat untuk mengakhiri perang yang panjang.
Bentrokan yang paling intens pada Sabtu terjadi di Kunduz, saat Taliban lagi-lagi berselisih dengan pasukan keamanan untuk menguasai jalan raya utama, dan militer Afghanistan mengerahkan serangan udara dan artileri.
Agha, terdampar di luar kota berpenduduk 270 ribu selama empat hari selama serangan yang lebih besar bulan lalu. Ia tidak dapat menghubungi keluarganya dalam perjalanan kembali dari pekerjaannya. Ia menimbun banyak makanan untuk tiga bulan di rumah kecilnya.
Pemeriksaan Reuters terhadap serangan Agustus, yang terburuk sejak 2015, ketika Kunduz sempat jatuh ke tangan Taliban, menunjukkan bagaimana pemberontak baru-baru ini meningkatkan tekanan pada pusat kota strategis itu. Kota ini merupakan pintu gerbang di utara ke provinsi kaya mineral dan ke Asia Tengah, serta pusat transportasi dan penyelundupan narkoba.
Taliban membantah serangan Kunduz, dengan mengatakan pejuang mereka hanya menyerang pangkalan sebagai pembalasan atas penembakan pasukan di daerah terdekat.
"Sejak awal tahun kami tidak pernah memiliki rencana serangan besar di kota besar mana pun karena satu alasan, dan itu adalah proses perdamaian," kata juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid.
"Menyerang kota-kota besar dapat merusak proses ini," ia melanjutkan.
Menurut diplomat, Taliban sedang mengejar strategi pertarungan dan pembicaraan. Sebagian besar mengabaikan permintaan internasional untuk meredam kekerasan.
"Skala ambisi untuk memperluas kendali teritorial belum surut. Mereka ingin pejuang mereka tetap aktif di lapangan---ini adalah perhatian utama menjelang pembicaraan karena kepercayaan utama dan pembangunan kepercayaan bergantung pada pengurangan kekerasan," kata seorang diplomat senior Barat.
Tindakan keras Taliban dilakukan tepat ketika Amerika Serikat (AS) dengan cepat menarik pasukannya di Afghanistan, sejalan dengan janji Presiden Donald Trump untuk mengakhiri perang terpanjang Amerika.
Pakta Februari antara Washington dan Taliban menetapkan Mei 2021 sebagai tanggal penarikan terakhir pasukan. Jumlah pasukan AS diperkirakan akan turun menjadi 4.500 personel pada November dari lebih dari 100 ribu personel pada 2011.
Saat ini pemerintah Afghanistan dan Taliban sedang duduk untuk pembicaraan damai, setelah penundaan berbulan-bulan. Para pejabat mengatakan prioritas utama adalah merundingkan gencatan senjata yang komprehensif.
"Kapasitas militer mereka merupakan ancaman bagi pemerintah Afghanistan, dan mereka kemungkinan akan terus melancarkan serangan selama beberapa bulan mendatang saat perundingan dimulai," kata Elizabeth Threlkeld, wakil direktur program Asia Selatan di Stimson Center yang berbasis di Washington.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Fawad Aman mengatakan,
pasukan Afghanistan mendorong mundur pejuang Taliban dengan beberapa serangan udara. Pada salah satu hari terberat pertempuran, 34 anggota Taliban tewas dan 24 lainnya luka-luka.