Soal Pos Tarif, Pusbarindo: Bisa Picu Perang Dagang

Kebijakan pos tarif dapat berpotensi melanggar peraturan WTO.

Antara/Anis Efizudin
Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) menyatakan, wacana pemberlakukan pos tarif untuk mengganti kebijakan wajib tanam bawang putih berpotensi melanggar peraturan World Trade Organization (WTO).
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) menyatakan, wacana pemberlakukan pos tarif untuk mengganti kebijakan wajib tanam bawang putih berpotensi melanggar peraturan World Trade Organization (WTO). Hal itu dapat memicu perang dagang dengan China yang saat ini menjadi negara sumber utama impor bawang putih ke Indonesia.

Baca Juga


"Dengan menetapkan pos tarif untuk bawang putih, yang mana 95 persennya merupakan impor dari China, maka akan membuka peluang perang dagang baru dengan China," kata Ketua Pusbarindo, Valentino, dalam pernyataan resminya, Kamis (17/9).

Valentino mengingatkan, aturan pos tarif bertentangan dengan WTO dan Indonesia telah mengalami kekalahan beberapa kali dalam perkara perdagangan dengan berbagai negara mitra dagang.

China, kata dia, berpotensi akan merespons dengan membalas kebijakan pos tarif lewat kebijakan yang bisa lebih merugikan bagi Indonesia. Ia pun meminta agar suatu kebijakan peraturan mengenai wajib tanam bawang putih dapat menerima masukan dari seluruh stakeholder terkait. Mulai dari petani, pelaku usaha, hingga lembaga pemerintahan daerah.

"Kami Asosiasi Pusbarindo sebagai mitra strategis pemerintah selama ini belum dilibatkan atau diminta masukkan dan pendapat dalam hal wacana pos tarif," kata Valentino.

Direktur Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto, sebelumnya mengatakan, pemerintah tengah mengkaji sistem baru untuk menggantikan program wajib tanam yang selama ini dibebankan kepada importir bawang putih. Salah satu alternatif penggantinya dengan menerapkan sistem pos tarif.

"Kita sedang proses revisi wajib tanam. Jadi bagaimana misal dikenakan tarif sehingga importir tidak perlu wajib tanam, tapi mereka membayar," kata Prihasto.

Ia mengatakan, dana dari pembayaran itu nantinya akan dikumpulkan dan dilelang kepada perusahaan yang sanggup menggunakan uang itu untuk kegiatan pertanaman dalam negeri. Namun, kata Prihasto, sistem tersebut masih dalam tahap konsultasi.

Pasalnya, terdapat kemungkinan kebijakan pos tarif itu dapat melanggar peraturan dari World Trade Organization. "Kami akan perdalam di tim kami dalam penyusunan wajib tanam ini," kata Prihasto.

Prihasto mengatakan, salah satu alasan pihaknya ingin mengganti kewajiban tanam karena selama ini dirasa sulit oleh para importir untuk melakukan wajib tanam. Di mana, para importir diharuskan bermitra dengan petani lokal dan mencari area untuk melaksanakan budidaya bawang putih hingga memberikan produksi.

Menurutnya, dari hasil survei lapangan kebanyakan masalah yang dihadapi importir adalah sulitnya medan area pertanaman. Namun, mengenai progres wajib tanam yang berhasil maupun yang belum berhasil, seluruhnya telah terdata dengan baik.

Sementara itu, ia mencatat, dari 122 importir yang telah mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dari Kementan, ada 70 importir yang sama sekali belum melakukan wajib tanam.

Tahun 2018 dan 2019 juga terdapat kasus serupa. Di mana tahun 2019 tercatat 33 perusahaan dan 2018 ada 30 perusahaan yang belum melunasi wajib tanam bawang putih di dalam negeri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler