Muslim dan Ateis Alami Diskriminasi Agama di AS

Penelitian diskriminasi Muslim dan ateis AS fokus di sekolah umum.

Amr Alfiky/Reuters
Muslim dan Ateis Alami Diskriminasi Agama di AS. Seorang muslim Amerika menatap ke arah jendela di Islamic Cultural Center, Manhattan, New York
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah penelitian dari University of Washington menyebutkan Muslim dan ateis di AS kerap mengalami diskriminasi agama daripada mereka yang beragama Kristen. Penelitian ini berfokus kepada sekolah umum, yang merupakan lembaga milik pemerintah.

Baca Juga


“AS menjadi masyarakat yang jauh lebih beragam secara budaya daripada di masa lalu, dan laju perubahan terjadi dengan sangat cepat. Jadi kami ingin bertanya, bagaimana lembaga publik kami mengikutinya, bisakah mereka memberikan akomodasi dan perlindungan yang sama di mata hukum?" kata Steve Pfaff, penulis utama studi tersebut yang diterbitkan 30 Agustus di Public Administration Review.

Menurutnya, sekolah memikul tanggung jawab yang sangat besar dalam memberikan layanan dan satu hal yang berubah dengan cepat, di antara penduduk adalah agama. "Jadi bagaimana sekolah menangani semua perubahan itu?" kata Pfaff yang juga seorang profesor sosiologi Universitas Washington.

Pfaff menunjukkan statistik nasional yang mencerminkan perubahan. Persentase orang Amerika yang mengidentifikasi diri sebagai ateis telah meningkat dari 16 persen menjadi 23 persen dalam dekade terakhir, persentase orang Amerika yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim, meski kecil, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat menjadi dua persen pada 2050.

Pada studi yang dilakukan pada musim semi 2016 ini, peneliti mengirimkan email ke 45 ribu kepala sekolah di 33 negara bagian, termasuk Washington. Email tersebut disajikan sebagai catatan dari keluarga yang baru mengenal komunitas. Di akhir email peneliti menyertakan tandatangan berisi kutipan yang mewakili agama Islam, Kristen, ateis, dan lainnya, tapi tidak termasuk Yahudi.

Pesan tersebut dibuat dalam beberapa versi. Versi pertama meminta pertemuan untuk belajar tentang sekolah, versi kedua berusaha menemukan sekolah yang sesuai dengan keyakinan mereka, dan sepertiga menanyakan tentang akomodasi kebutuhan agama di sekolah.

"Tim peneliti memilih pendekatan audit, dengan email yang dibuat-buat, daripada survei yang lebih standar dengan asumsi mengajukan pertanyaan kepada orang-orang tentang bias agama mungkin tidak menghasilkan jawaban yang benar-benar jujur," kata Pfaff dilansir dari News Wise, Rabu (23/9).

Banyak penelitian dalam ilmu sosial menunjukkan subjek cenderung tidak akan jujur apa yang menurut mereka akan dianggap sebagai pendapat diskriminatif. Meskipun tidak ada tanggapan dari kepala sekolah yang secara eksplisit negatif, kata Pfaff, kurangnya tanggapanlah yang mengindikasikan adanya suatu pola. Misalnya, email yang mengisyaratkan afiliasi dengan Islam atau ateisme, yang ditunjukkan oleh kutipan yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad atau Richard Dawkins di tanda tangan email, sekitar lima poin persentase lebih kecil kemungkinannya untuk menerima tanggapan.

Email tersebut terangnya dikirimkan ke 33 negara bagian, artinya bukan saja sekolah-sekolah di kota melainkan juga di pedesaan. Hasilnya, ternyata diskriminasi terhadap agama minoritas (Islam dan ateis) tetap sama.

"Itu menunjukkan diskriminasi agama dapat terjadi di mana saja, yang tidak mencerminkan geografi atau ideologi politik," kata Pfaff.

Pfaff melanjutkan, bias terhadap Muslim dan ateis atas dasar identifikasi diri, tanpa permintaan akomodasi, bisa berasal dari diskriminasi yang berakar pada penilaian moral. Dari perspektif penelitian diskriminasi, birokrat garis depan, seperti pekerja kota atau kabupaten atau kepala sekolah adalah kelompok studi yang sesuai, bahkan mungkin lebih dari pejabat terpilih karena mereka memiliki begitu banyak interaksi yang rutin dengan publik.   

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler