Sejengkal Kematian di Atap Kereta: COD dengan Malaikat Maut
Ancaman kematian berkali-kali datang saat ikut naik di atap kereta demi berita bagus.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Buat yang rajin naik kereta api rel listrik (KRL) Bogor-Jakarta, mestinya mafhum bahwa kereta tersebut--terutama kelas ekonominya-- punya dua tingkat pada masa-masa sebelum keadaannya dibenahi Pak Ignatius Jonan. Ada tingkat reguler dan ada satu tingkat lagi: di atas atap kereta. Ini tingkat di atap buat mereka yang keterlaluan beraninya atau dipaksa keadaan.
Nah, sekali waktu pada 2011, saya diminta redaktur untuk meliput kondisi KRL menjelang kelas ekonomi dihapuskan. Sok jagoan, pikir saya bakal menarik jika saya mencoba naik ke atap kereta dan menuliskan hari-hari terakhir moda transportasi atas atap yang tak jarang ujung stasiunnya di alam baka tersebut. Pengelola kereta api mencatat, sekitar 40 orang meninggal di atas atap kereta sepanjang tahun sebelum saya mencoba aksi tersebut.
Saya ingat, dibantu naik ke atap oleh beberapa penumpang dari Stasiun Kereta Citayam di Depok. Salah satunya bekerja di Jakarta Utara. Ketika mula saya ajak ngobrol, ia mengaku baru sekali itu baik di atas atap kereta.
Baru bicara sebentar, orang-orang di atas atap tiba-tiba ramai berteriak, “Pendek…pendek…pendek!” Maksudnya memperingatkan bahwa kabel telanjang penghantar listrik akan melengkung ke bawah menyusul kereta yang sesaat lagi melintasi kolong jalan layang menuju Kelapa Dua, Depok. Seperti shalat berjamaah, para penumpang tingkat dua serentak membungkukkan tubuh dalam-dalam, tak sudi tersambar kabel yang melintang tak sampai semeter di atas kepala.
“Pohon…pohon…pohon!” teriakan kembali terdengar saat kereta melintasi jalur antara Lenteng Agung dan Tanjung Barat. Suaranya mengalahkan deru angin dan mesin, denting roda kereta yang beradu dengan rel, klakson yang memekakkan telinga, dan bel peringatan di perlintasan. Penumpang merapat ke bagian tengah atap kereta, takut tersabet ranting dari pohon yang tumbuh di tepian rel.
Kala itu, menjelang Stasiun Pasar Minggu, di tiang kabel listrik dipasang semacam plang plastik panjang lentur yang ujungnya berbentuk telapak tangan. Tujuannya untuk menampar penumpang di atas atap biar kapok dan segera turun.
Plang itu dirancang tak sampai membuat jatuh penumpang di atap. Begitu pun, saat itu sudah patah dan tak lagi bisa menjalankan kerjanya.
Dan saya paham kemudian, pekerja yang menarik saya ke atas atap di Citayam ternyata bohong bahwa ia baru kali itu naik ke atas atap. "Saya yang tendang sampai patah kemarin," ujar dia.
Saya tanya alasannya melakukan hal itu. "Kan membahayakan kita-kita yang di atap, Bang," kata dia dengan raut muka serius.
Saya coba sekuat hati menahan tawa. Orang-orang Indonesia memang terkadang sukar dimengerti. Dia marah dengan plastik lentur yang diniatkan untuk menyelamatkan jiwa sementara tepat di atas kepalanya ada kabel telanjang yang dialiri 1.500 volt listrik.
Bagaimanapun, saya tahan komentar itu dan melanjutkan perjalanan sembari menggeser posisi duduk. Kian ke utara, makin banyak saja yang naik ke atas atap.
“Awas kepala…awas kepala!” Kembali orang-orang berteriak begitu kereta melaju di tengah perjalanan antara Stasiun Duren Kalibata dan Cawang. “Sayang anak…sayang anak!” sebagian lainnya berseloroh. Serentak seluruh pengguna atap kereta merebahkan diri. Di depan, ada terowongan yang panjangnya sekitar 15 meter tepat sebelum memasuki Stasiun Cawang. Tak usah ditanya apa yang terjadi kalau kepala terbentur langit-langit lorong yang jaraknya semeter dari atap.
Namun, ancaman yang lebih menakutkan datang dari kabel listrik yang kembali melengkung turun di terowongan. Sembari berbaring pun, kabel telanjang dengan tegangan enam kali lipat steker di rumah itu hanya sejengkal di depan wajah.
Hanya dalam hitungan detik kereta melaju di bawah lorong, tapi rasanya lama nian. Saat saya memejamkan mata, bayangan anak-istri di rumah muncul di kepala.
Nama Tuhan saya rapalkan berkali-kali. Jantung ini berdebar-debar tak keruan. Bahkan sampai sekarang saya masih merasakan ngilu di jidat jika mengingat detik-detik tersebut.
Saat kereta akhirnya tiba di Stasiun Manggarai, saya pungkaskan perjalanan yang rencananya bakal sampai Stasiun Jakarta Kota. Melompat turun dari atap, hampir tak mampu berdiri karena lutut masih gemetar. Melihat lagi ratusan yang masih duduk di atap kereta, saya yang datang dari daerah ingat lagi itu adagium lama soal kejamnya Ibu Kota.
Namun, di lain hal, ada kebanggaan bahwa saya punya bahan tulisan bagus untuk itu hari. Hari itu juga saya selesaikan tulisan dan kemudian saya kirim ke kantor. Dengan segala kepayahan itu hari, jawaban redaktur sewaktu membaca laporan saya singkat saja.
"Kamu sudah gila, ya!?". Meskipun keesokan harinya ia naikkan juga itu barang di halaman depan koran. Ini pekerjaan, jadi jurnalis, memang profesi yang miskin pujian.