China Bantah Penghancuran Massal Masjid di Xinjiang
ASPI menyebut China menghancurkan 16 ribu masjid di Xinjiang.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China telah menolak klaim bahwa pihak berwenang menghancurkan dua pertiga masjid di Daerah Otonomi Xinjiang, yang mayoritas Muslim. Beijing juga menyangkal keberadaan 380 kamp, diduga digunakan dalam rencana untuk memaksa Muslim Uighur meninggalkan bahasa dan kepercayaan mereka.
Dilansir dari laman RFI pada Selasa (29/9), akan tetapi China mengakui adanya proses pendidikan ulang besar-besaran yang bertujuan untuk memberantas terorisme di wilayah tersebut. Sekretaris Partai Komunis, Xi Jinping memuji kebijakan tersebut sebagai sesuatu hal yang berhasil.
Laporan "Cultural Erasure" yang diterbitkan pada 24 September oleh Australian Strategic Policy Institue (ASPI) menyatakan, sekitar 16 ribu masjid di Xinjiang atau 65 persen dari total, telah hancur atau rusak akibat kebijakan pemerintah. Masjid tersebut sebagian besar dihancurkan dari 2017.
Dengan menggunakan citra satelit, para peneliti menemukan bahwa diperkirakan 8.500 masjid telah dihancurkan secara langsung, dan sebagian besar, tanah tempat bangunan-bangunan yang dihancurkan itu pernah berdiri tetap kosong.
Lebih dari 30 persen dari situs suci Islam penting, di antaranya tempat suci, kuburan dan rute ziarah, termasuk banyak yang dilindungi oleh hukum China telah dihancurkan di seluruh Xinjiang. Kemudian tambahan 28 persen telah rusak atau diubah dalam beberapa cara.
Bertepatan dengan laporan "Cultural Erasure", ASPI juga menerbitkan laporan lain "Documenting Xinjiang’s Detention System". Ini menyebutkan lokasi lebih dari 380 fasilitas penahanan yang dicurigai di Xinjiang dalam apa yang disebut sebagai database terbesar dari fasilitas penahanan Xinjiang yang ada.
Sementara itu, Surat kabar China yang pro-Beijing, Global Times menolak temuan ASPI. Kemudian menyatakan laporan itu sebagai fitnah. Mereka menyatakan bahwa Xinjiang memiliki sekitar 24 ribu masjid, satu untuk setiap 530 Muslim. Jumlah masjid di Xinjiang 10 kali lebih banyak daripada di Amerika Serikat (AS).
Dalam reaksi lain terhadap laporan tersebut, Cina menolak masuk untuk Cendekiawan Australia, Clive Hamilton, dan analis ASPI Alexander Joske. Hal ini disebut menunjukkan penolakan China untuk tunduk pada tipu muslihat seperti pencemaran nama baik dengan kedok pekerjaan ilmiah.
Namun tuduhan itu bukanlah hal baru. Laporan tentang upaya Beijing yang berkembang untuk pendidikan ulang segmen besar dari populasi Uighur yang berjumlah 15 juta orang mulai beredar pada 2017.
Awalnya di pers China sendiri, seperti cerita yang diterbitkan oleh Xinjiang Daily, yang berbicara tentang pemilik toko Uigur Ali. Dia dianggap berpendidikan rendah dan ditahan di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Hotian, disebabkan karena ia kurang kewaspadaan terhadap bahaya tiga kekuatan, separatisme, terorisme, dan ekstremisme agama, yang mengancam persatuan China.