Pemerintah Jelaskan Formulasi Upah Minimum di UU Ciptaker

UU Ciptaker dinilai pemerintah penting untuk ketersediaan lapangan kerja.

Edi Yusuf/Republika
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggelar aksi menolak UU Onibus Law, di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (7/10). KAMMI mendesak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka menilai, UU tersebut sangat merugikan masyarakat khususnya para pekerja.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Amri Amrullah, Wahyu Suryana, Antara

Pemerintah memastikan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) tetap mengatur hak dan perlindungan upah pekerja atau buruh, termasuk mengatur upah minimum. Tapi, formulasi yang lebih detail masih harus diperjelas dan akan dituangkan dalam regulasi turunan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan UU Ciptaker tetap mensyaratkan upah minimum untuk pekerja/ buruh. "Tidak dihapuskan, namun tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi dan salary yang diterima tidak akan turun," ucapnya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (7/10).

Airlangga menjelaskan, keberadaan UU Ciptaker bertujuan menyederhanakan, mensinkronisasi dan memangkas 'obesitas' regulasi yang dapat menghambat penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain, regulasi ini  memberikan peningkatan perlindungan bagi pekerja atau buruh.

Airlangga mengatakan UU Ciptaker adalah solusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia. “UU diharapkan menjadi solusi menciptakan lapangan kerja baru dengan tetap memberikan perlindungan pada UMKM dan koperasi serta meningkatkan perlindungan para pekerja dan buruh,” katanya.

Airlangga menyatakan ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan tantangan untuk mencapai target Indonesia yang saat ini telah berada pada golongan upper middle income country untuk lolos dari middle income trap. “Tentu tantangannya adalah terciptanya lapangan kerja bagi angkatan kerja yang ada di Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, bonus demografi yang dimiliki Indonesia beserta efektivitas UU Ciptaker dalam menciptakan lapangan pekerjaan akan menjadi golden moment dalam meraih target tersebut. Ia menyebutkan Indonesia mempunyai 2,92 juta anak muda yang membutuhkan lapangan pekerjaan, sementara 87 persen pekerja berpendidikan menengah ke bawah dan 39 persen pekerja berpendidikan sekolah dasar.

“Golden moment ini tidak kita kesampingkan karena ini adalah momentum bagi Indonesia apalagi sekarang kita sudah masuk ke dalam upper middle income country,” katanya.

Ia memastikan UU Ciptaker yang disusun oleh pemerintah dan DPR RI sepenuhnya berdasarkan kepentingan rakyat. Karena dapat memberikan kepastian hukum terhadap penciptaan lapangan pekerjaan maupun dalam bekerja.

“UU Ciptaker merupakan UU yang mementingkan kepentingan rakyat disusun dan didorong melalui DPR RI. Ini yang menegaskan kepastian hukum,” tegasnya.




Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah menuturkan, pengaturan upah minimum dalam UU Ciptaker mengacu pada dua regulasi. Yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Dalam UU Ciptaker, Ida menambahkan, pemerintah hanya menegaskan variabel dan formula dalam perhitungan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Upah minimum kabupaten/kota juga dipastikan akan tetap dipertahankan.

Selain penegasan, UU Ciptaker juga memberikan ketentuan baru. Salah satunya yang disebutkan Ida, penghapusan ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum. "Jadi, (upah minimum) tidak bisa ditangguhkan. Ini clear di UU Cipta Kerja," ujarnya,

Ida menuturkan, perlindungan dalam UU Ciptaker tidak hanya diberikan kepada pekerja formal, juga informal. Dalam hal ini diberikan dalam bentuk pengaturan ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil. Ketentuan tersebut dilaksanakan untuk memperluas penciptaan lapangan kerja dari sektor mikro dan kecil.

Di sisi lain, Ida menegaskan, isu mengenai penghapusan ketentuan sanksi pidana dalam UU Cipta Kerja adalah tidak benar. "Ketentuan mengenai sanksi pidana ketenagakerjaan semuanya dikembalikan seperti UU 13/2003," katanya.

Diakui Ida, klaster ketenagakerjaan merupakan klaster yang banyak sekali terjadi distorsi informasi di masyarakat. Ida menjelaskan UU Ciptaker di klaster ketenagakerjaan dijelaskan pasal 82.

"Di mana disebutkan pasal ini bertujuan untuk perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja atau buruh," kata Ida. Namun tetap merujuk beberapa ketentuan dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Jadi, kata Ida, UU Ciptaker klaster ketenagakerjaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja atau buruh dalam mendukung ekosistem investasi. Kemudian yang dipatuhi dalam penyusunan klaster ketenagakerjaan.

Beberapa hal yang menurut Ida perlu diluruskan karena terjadi distorsi informasi pada klaster ketenagakerjaan. Pertama tentang UU Ciptaker tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja.

Di samping itu juga, kelas Ida, UU Ciptaker tetap mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi pekerja atau buruh pada saat berakhirnya PKWT. Jadi ketentuan syarat-syarat itu tetap diatur sebagaimana UU Nomor 13 tahun 2003.

"Ada tambahan baru yang tidak dikenal dalam UU 13 no. 2003 yang itu adalah justru memberikan perlindungan kepada para pekerja PKWT, yaitu adanya kompensasi kepada pekerja atau buruh pada saat berakhirnya PKWT," ungkapnya.

Kemudian, Menaker juga menegaskan syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh dalam kegiatan alih daya atau outsourcing masih tetap dipertahankan. Bahkan UU Ciptaker memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh, apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya, sepanjang objek pekerjanya masih ada. "Ini juga sesuai dengan putusan MK nomor 27 tahun 2011," katanya.

Mahasiswa dari berbagai kampus dan perwakilan buruh di Kota Purwokerto, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor setda/DPRD Banyumas, Rabu (7/10). Mereka menuntut UU Cipta Kerja dicabut. - (Republika/Eko Widiyatno)



Di samping itu, lanjut dia, pengawasan juga dialamatkan ke perusahaan outsourcing UU Ciptaker yang akan mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan outsourcing yang terintegrasi dalam sistem online single submission (OSS). Sehingga UU Ciptaker ini bisa mengontrol perusahaan outsourcing yang tidak terdaftar. Dengan UU ini pengawasan outsourcing bisa dilakukan dengan baik karena terdaftar harus terdaftar dalam sistem OSS.

Berikutnya, ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat. Ida menyebut di poin ini banyak sekali terjadi distorsi informasinya. Padahal ini tetap diatur sebagaimana UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.

"Ini kenapa diatur, jadi undang-undang yang eksis tetap ada, tetapi kita mengakomodir tuntutan perlindungan bagi pekerja atau buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu, yang di era ekonomi digital saat ini berkembang sangat dinamis," paparnya.

Kemudian UU Ciptaker ini, jelas Menaker, tetap mengatur hak-hak perlindungan upah bagi pekerja atau buruh. Sebagaimana peraturan perundnag-undangan existing UU No 13 Tahun 2003 dan PP No 78 Tahun 2015. "Jadi banyak yang berkembang bahwa, upah minimum dihapus. Padahal upah minimum ini tetap diatur dan ketentuannya juga tetap mengacu pada uu 13 tahun 2003 dan PP 78 tahun 2015," tegasnya.

Selain itu, kata dia, terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) juga tetap dipertahankan. "Saya ulang untuk menegaskan bahwa Upah Minimum Kabupaten/Kota tetap dipertahankan," katanya.

Hal lain yang terjadi distorsi dalam UU Ciptaker pada klaster ketenagakerjaan adalah UU ini menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum. Ida kembali membantah hal itu. Jadi tidak bisa pembayaran upah minimum itu ditangguhkan, ini jelas disebutkan di UU Ciptaker yang baru disahkan kemarin.

Dan dalam rangka memperkuat perlindungan upah bagi pekerja atau buruh, Ida juga menyampaikan UU Ciptaker justru turut meningkatkan pertumbuhan sektor usaha mikro dan kecil (UMKM). UU Ciptaker ini mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor UMKM, sehingga dengan UU ini perluasan kesempatan kerja dari UMKM juga akan diatur pengupahannya.

Kemudian dalam rangka perlindungan kepada pekerja atau buruh yang menghadapi proses pemutusan hubungan kerja (PHK). Ida menerangkan, RUU Ciptaker tetap mengatur mengenai ketentuan persyaratan dan tata cara PHK.

"Jadi tidaklah benar kalau dipangkas Ketentuan dan syarat tata cara PHK. tetap diatur sebagaimana undang-undang 13 2003," sebutnya.

Termasuk peran serikat pekerja, Menaker juga membantah bila peran serikat pekerja dihilangkan dalam UU Ciptaker. UU ini tetap memberikan ruang bagi Serikat Pekerja atau serikat buruh dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang sedang mengalami proses PHK. "Kita sama sekali tidak meniadakan peran-peran serikat pekerja serikat buruh dalam mengadvokasi anggotanya ketika mengalami persoalan PHK dengan pengusahanya," tegas Menaker.

Aksi massa mahasiswa dan buruh menolak UU Cipta Kerja diwarnai aksi lempar batu ke petugas di DPRD Lampung, Rabu (7/10). - (Mursalin Yasland)



Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Dr Hempri Suyatna, menilai UU Ciptaker membuka ruang kemudahan investasi masuk. Namun, beberapa pasal memberi manfaat lebih besar ke pengusaha, bukan buruh.

Hempri ia menekankan, ada dua sisi yang perlu dicermati. Positifnya, UU ini memang diharapkan mampu memberi kemudahan bagi investasi masuk Indonesia. Sehingga, diharapkan memberikan kemudahan bagi penciptaan lapangan kerja.

"Namun, jika dicermati lebih mendalam UU ini akan lebih cenderung memberi manfaat lebih kepada pengusaha dibanding buruh," kata Hempri, Rabu (7/10).

Ia sependapat, jika UU Ciptaker menjadi satu usaha pemerintah memangkas birokrasi untuk memudahkan iklim investasi di Indonesia. Secara konseptual, usaha ini diharapkan mampu menarik investor dan membuka kesempatan kerja.

Sebab, dalam beberapa kasus sering muncul keluhan investor soal perizinan yang mungkin berbelit. Namun, kemunculan UU ini di tengah-tengah pandemi global kini sangat tidak pas, terlebih saat ekonomi dunia alami penurunan.

"Menurut saya kurang pas mengingat kondisi perusahaan dan ekonomi dunia yang menurun," ujar Hempri.

Selain itu, ia menuturkan, banyak penolakan dari buruh dan berbagai kalangan yang melakukan melakukan penolakan. Seharusnya, kata Hempri, perlu sedikit ditunda sambil memperbaiki beberapa pasal yang menjadi keluhan masyarakat.

Tidak cuma membuka kemudahan investasi masuk ke Tanah Air, ia menekankan, perlu kebijakan ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat. Salah satunya mendorong peningkatan perputaran ekonomi daerah seperti beli produk lokal.

Hempri menambahkan, bila UU ini tetap diterapkan, setiap kebijakan ekonomi yang diambil negara harus sesuai amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Yang mana, investasi-investasi yang masuk Indonesia harus mampu menyejahterakan. "Bukan yang meminggirkan rakyat," kata Hempri.








BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler