Trump Berusaha Jalin Kesepakatan Nuklir dengan Rusia

Trump berusaha menjalin kesepatan pembatasan senjata nuklir sebelum pilpres

EPA-EFE/JOYCE N. BOGHOSIA
Gambar selebaran yang disediakan oleh Gedung Putih menunjukkan Presiden AS Donald Trump bekerja di Presidential Suite saat menerima perawatan setelah dinyatakan positif COVID-19, penyakit coronavirus di Walter Reed National Military Medical Center di Bethesda, Maryland, AS, 03 Oktober 2020 Presiden berada di Walter Reed untuk menjalani perawatan setelah dinyatakan positif COVID-19 pada 02 Oktober.
Rep: Kamran Dikarma Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilaporkan tengah berusaha menjalin kesepatan pembatasan senjata nuklir dengan Rusia. Hal itu diharapkan dapat terwujud sebelum pilpres AS digelar pada 3 November mendatang.

Pada Jumat (9/10), situs berita Axios mengutip sumber anonim yang mengetahui hal tersebut melaporkan, Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah membangun momentum terkait kesepakatan itu dalam percakapan baru-baru ini. Kesepakatan disebut dapat diselesaikan dalam waktu sepekan.

Perjanjian prospektif akan mencakup batasan pada persenjataan nuklir masing-masing negara. Kesepakatan pun akan mengatur perjanjian kontrol senjata yang lebih mendalam

AS dan Rusia telah sama-sama keluar dari kesepakatan Intermediate-range Nuclear Forces (INF). Perjanjian itu ditandatangani kedua negara pada 1987. INF melarang Washington dan Moskow memproduksi dan memiliki rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer.

Baca Juga


Perjanjian INF bubar karena Rusia dan AS saling tuding telah melanggar poin-poin kesepakatan. Kedua negara juga tergabung perjanjian New START (Strategic Arms Reduction Treaty) yang ditandatangani pada 2010. 

Perjanjian itu melarang Washington dan Moskow mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pengebom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya. New START akan berakhir pada Februari 2021. Perjanjian bisa diperpanjang hingga lima tahun jika AS dan Rusia menyetujuinya.

Namun Trump berulang kali mengutarakan keinginannya melibatkan China dalam perjanjian semacam itu. Namun Beijing menolak dilibatkan.

China beralasan kapasitas dan kekuatan persenjataan nuklirnya sangat kecil jika dibandingkan AS dan Rusia. Jika memang Beijing mau dilibatkan, Moskow dan Washington harus mengurangi kapasitas serta kekuatannya nuklirnya terlebih dulu.

Pada Mei lalu juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan negaranya menganggap masalah aksesi China ke perjanjian New START dapat diselesaikan secara perlahan. Dia menekankan Rusia siap mendukung skema multilateral yang akan berkontribusi serta memastikan keamanan dan stabilitas global.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler