Membedah Hoaks UU Cipta Kerja

Presiden Jokowi menyebut aksi unjuk rasa UU Ciptaker dipicu oleh hoaks.

Dok. Setpres
Presiden Joko Widodo.
Rep: Sapto Andika Candra Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (9/10) sore menggelar konferensi pers di Istana Kepresidenan Bogor. Untuk pertama kali sejak UU Cipta Kerja disahkan DPR RI pada Senin (5/10), presiden akhirnya angkat bicara menanggapi kontroversi yang terlanjur memanas.

Dalam keterangannya, Jokowi terang-terangan menuding bahwa gelombang aksi unjuk rasa di berbagai daerah dipicu oleh disinformasi dan hoaks mengenai substansi UU Ciptaker.

Jokowi pun merinci ada sembilan berita bohong yang tersebar mengenai UU Cipta Kerja. Dari sembilan isu hoaks yang disebut Jokowi, paling banyak berkaitan dengan ketenagakerjaan. Mulai dari pengupahan, hak cuti, sampai pesangon.

Jokowi juga mengklaim bahwa isu-isu yang menyebutkan bahwa ada pengurangan hak-hak pekerja berupa upah dan cuti tidak benar. Presiden merinci satu per satu klarifikasinya.

Lantas apakah klarifikasi Presiden Jokowi benar adanya? Sebenarnya masyarakat kesulitan untuk mengecek kebenarannya karena draf resmi dari UU Cipta Kerja yang sudah diketok palu belum bisa diakses oleh publik.

Baca Juga


Badan Legislasi DPR berdalih bahwa UU Cipta Kerja yang sudah disahkan pada Senin (5/10) masih dirapikan dan sedang dimintakan tanda tangan presiden. Pemerintah belum bisa sepenuhnya menyosialisasikan UU sapu jagat ini bila beleid final saja tak tersedia.

Salah satu dokumen resmi yang masih bisa dijadikan pegangan dalam mengkroscek pernyataan Presiden Jokowi adalah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang diunggah di situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Arsip dokumen ini masih bisa diakses publik dengan alamat ekon.go.id/info-sektoral/15/6/dokumen-ruu-cipta-kerja.

Pemerintah dan DPR memang sama-sama menyebutkan bahwa isi draf akhir yang sudah disahkan berbeda dengan draf awal yang banyak beredar di masyarakat. Namun apa daya, nihilnya salinan dokumen resmi yang sudah disahkan membuat masyarakat pun tak punya ruang cukup untuk memahami UU Cipta Kerja secara penuh.

Republika mencoba membandingkan poin-poin hoaks yang disampaikan Presiden Jokowi dengan aturan yang tertuang dalam UU Ciptaker, atau dalam hal ini menggunakan draf RUU Ciptaker yang belum disahkan. Republika juga membandingkannya dengan salinan dokumen yang disebut-sebut sudah final, bersumber dari internal DPR.

Sebagai penguat, Republika juga menampilkan penjelasan dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang menjawab klarifikasi pemerintah.


Salah satu hoaks yang beredar, Jokowi menyebutkan, adalah informasi bahwa UU Ciptaker menghapus Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP). Menurutnya, informasi tersebut tidaklah benar. "Faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada," kata Jokowi.

Lantas benarkah UMP, UMK, UMSK, dan UMSP dihapus?

Dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (aturan lama), poin-poin mengenai UMP dan UMK diatur melalui Pasal 89. Namun pada UU Cipta Kerja (aturan baru), pengaturan mengenai UMP, UMK, dan upah minimum sektoral dihapus. Pasal 90 mengenai pengaturan sanksi bagi perusahaan yang tak membayarkan upah sesuai upah minimum pun dihapus.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, dihapusnya UMSK dan UMSP merupakan bentuk ketidakadilan. Alasannya, pelaku industri sektor otomotif seperti Toyota, Astra, atau sektor pertambangan seperti Freeport di Papua dan penambang nikel di Morowali punya nilai upah minimum yang sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.

"Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," ujar Said dalam keterangannya, Sabtu (10/10).

Fakta lain adalah, ujar Said, UMK ditetapkan bersyarat yang diatur kemudian oleh pemerintah. Organisasi buruh pun memandang hal ini hanya menjadi alibi bagi pemerintah untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di pemerintah.

"Padahal dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat," ujarnya.

UU Cipta Kerja juga hanya mewajibkan penetapan upah minimum provinsi (UMP). Said menyatakan, hal ini semakin menegaskan kekhawatirannya bahwa UMK hendak dihilangkan karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan.

"Adapun yang diinginkan buruh adalah UMSK tetap ada dan UMK ditetapkan sesuai UU 13 Tahun 2013 tanpa syarat, dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL)," kata Said.



Isu kedua yang diklarifikasi Jokowi adalah kabar bahwa upah minumum dihitung per jam. Jokowi menegaskan, hal ini juga tidak benar. Ia menyebutkan bahwa tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang, yakni upah tetap bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.

Benarkah upah buruh dihitung per jam?

Dalam draf UU Cipta Kerja yang dibagikan Badan Legislasi DPR pada Senin (5/10) (bukan draf final) memang disebutkan poin mengenai hal tersebut. Pasal 88B tertulis bahwa upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu, dan/atau satuan hasil. Ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam UU Ketenagakerjaan yang lama, penjelasan soal upah per satuan waktu tidak disebutkan.

Said Iqbal melihat bahwa perubahan yang terjadi memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam. Ia juga menambahkan bahwa upah yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan sebelumnya.

"Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam Ommibus Law UU Cipta kerja, bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan," ujar Said.

Hoaks ketiga menurut Jokowi, adalah kabar yang menyebut semua cuti, termasuk cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, hingga cuti melahirkan dihapuskan dan tidak ada kompensasinya. "Saya tegasnya ini juga tidak benar, hak cuti tetap ada dan dijamin," ujar Jokowi.

Benarkah hak cuti  hilang dan tidak ada kompensasi?

UU Cipta Kerja merevisi ayat pada Pasal 79 UU Ketenagakerjaan tahun 2003 yang mewajibkan perusahaan memberikan istirahat panjang bagi pekerja selama dua bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama enam tahun.

Pasal 79 ayat 5 pada UU Cipta Kerja hanya menjelaskan bahwa 'selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

"Cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga berpotensi hilang," ujar Said.

Selain perkara cuti panjang, UU Cipta Kerja juga tidak mencantumkan hak cuti haid bagi pekerja perempuan. Beleid baru ini tidak mengatur hak cuti haid di hari pertama dan kedua.

Padahal dalam Pasal 81 UU Ketenagakerjaan tahun 2003, jelas diatur bahwa pekerja perempuan bisa memperoleh libur pada saat haid pertama dan kedua, saat haid. Kendati begitu, Menteri Ketenagkerjaan Ida Fauziyah telah mengklarifikasi bahwa hak pekerja perempuan terkait cuti haid dan cuti melahirkan tidak hilang.

Ia mengakui hal tersebut memang tidak diatur dalam UU Ciptaker, namun tak lantas membuat hak-hak pekerja perempuan terhadap cuti haid dan melahirkan hilang. Karena tidak diatur itulah, menurut Ida, maka ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang lama masih berlaku.  

"Buruh juga meminta agar cuti haid dan melahirkan tidak dipotong upahnya. Sebab kalau upahnya dipotong, maka buruh akan cenderung untuk tidak menghambil cuti. Karena meskipun cuti haid dan melahirkan tetap ada di undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan tidak akan bisa berjalan jika upahnya dipotong," kata Said.



Disinformasi keempat yang disebut Jokowi menyebar adalah kabar bahwa perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak. Ia pun menegaskan informasi ini juga tidak benar. Yang benar, katanya, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak.

Hoaks selanjutnya yang disebut Jokowi adalah informasi bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Menurutnya, justru jaminan sosial tetap ada.

Lantas benar kah perusahaan bisa melakukan PHK sepihak?

Pasal 161 UU Ketenagkerjaan tahun 2003 mengatur bahwa perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. PHK pun baru bisa dilakukan setelah pekerja yang bersangkutan diberikan surat peringatan (SP) pertama, kedua, dan ketiga.

Namun, ketentuan soal pemberian surat peringatan tidak diatur dalam UU Cipta Kerja yang baru. Kriteria pemutusan hubungan kerja memang disisipkan dalam Pasal 154, namun soal pemberian SP dihapuskan.

Hoaks selajutnya yang disebut Presiden Jokowi, bahwa UU Ciptaker menghapus analisis dampak lingkungan (Amdal) bagi industri. Ia menyebutkan, studi Amdal yang ketat tetap ada bagi industri besar. Sedangkan bagi UMKM, lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan.

Padahal kalau dibandingkan antara UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dengan Bab III UU Cipta Kerja tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, memang ada perbedaan terkait aturan Amdal.

UU 32 tahun 2009 tentang PPLH, pada Pasal 26, mengatur dokumen Amdal disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat ini pun terdiri dari masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal.

Poin-poin di atas mengalami perubahan pada draf UU Cipta Kerja. Pasal 26  dari Bab III dan paragraf 3 tentang persetujuan lingkungan dalam UU Cipta Kerja menghapuskan keterlibatan pemerhati lingkungan dalam penyusunan Amdal. Dokumen Amdal hanya disusun oleh pemrakarsa dengan masyarakat yang terkena dampak langsung.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapuskan kewenangan masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal. Sebelumnya hal ini diatur dalam Pasal 26 ayat 4 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH.

Hoaks kesekian yang disebut Jokowi, adalah kabar bahwa UU Cipta Kerja mendorong komersialisasi pendidikan. Menurutnya ini juga tidak benar.

Jokowi mengklarifikasi bahwa pengaturan pendidikan formal dalam UU Ciptaker hanyalah untuk kawasan ekonomi khusus (KEK).

Bagaimana kondisi sebenarnya?

Bila ditilik langsung pada draf UU Cipta Kerja, pengaturan mengenai perizinan pendidikan ini diatur dalam Paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pada Pasal 65 dituangkan bahwa 'pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha, sebagaimana dimaksud dalam UU ini'.

Perizinan berusaha sendiri merupakan landasan hukum bagi pelaku usaha untuk menjalankan usaha atau bisnisnya. Hal ini yang kemudian memicu anggapan bahwa UU Cipta Kerja menjadikan pendidikan seperti komoditas perdagangan, karena butuh perizinan berusaha.

Pasal 65 juga tidak mengatur rinci bahwa ketentuan perizinan berusaha itu hanya untuk pendidikan formal di KEK seperti yang dibilang Presiden Jokowi.

"Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)," bunyi Pasal 65 ayat 2.

Enam poin di atas merupakan perbandingan sederhana antara klarifikasi Presiden Jokowi dengan draf UU Cipta Kerja, juga dibandingkan dengan aturan pendahulunya. Masyarakat masih menunggu transparansi pemerintah terkait dokumen final resmi dari UU Cipta Kerja.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler