Demonstrasi dalam Perspektif Hukum Islam

Demonstrasi dalam sejarah Islam baru ada pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Antara/Aditya Pradana Putra
Pengunjuk rasa yang menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja berdemonstrasi di Bundaran Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Rep: Muhyiddin Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa nabi memang belum ada istilah demonstrasi. Pada masa itu, demonstrasi lebih kepada pemberontakan umat Islam yang tidak puas dengan kebijakan para penguasa yang zalim.

Istilah demonstrasi yang berujung anarkistis seperti sekarang ini baru muncul pada masa kepemimpinan khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang pada waktu itu dituduh melakukan nepotisme. Hingga akhirnya Utsman terbunuh dalam peristiwa tersebut.  

Dalam perspektif hukum Islam, aksi demontrasi sendiri merupakan saran untuk menasihati seseorang yang telah berbuat kemungkaran agar kembali kepada kebaikan, sebagai bentuk amar ma'ruf nahi mungkar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Alqur'an:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS.Ali Imran [3]:104).

Ketika aksi demonstrasi di bingkai dalam pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar kepada penguasa yang dzalim, maka rakyat akan melakukan kritiknya. Pada prinsipnya hukum Islam tidak melarang penyampaian nasihat secara terang-terangan, termasuk aksi demonstrasi sepanjang itu tidak bersifat anarkis dan destruktif.

Al-Hafidz at-Turmudzi dalam Kitab Jami’ nya meriwayatkan, Bahwa Rasulullah Saw bersabda :

أفضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر

Jihad yang paling Afdhol adalah menyampaikan kalimat keadilan di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).

Al-Mubarokfuri dalam Kitabnya Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan bahwa maksud dari hadits di atas adalah menegakkan amar makruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran dan melawan Kebathilan  yang dilakukan oleh penguasa yang dzalim merupakan bentuk jihad yang paling mulia. Baik hal tersebut dilakukan secara langsung dengan lisan, ataupun dengan tulisan seperti yang dijihadkan para wartawan.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler