Minta Mahasiswa tak Demo, Sikap Kemendikbud Dipertanyakan
Sikap kontradiktif Kemendikbud karena malah meminta mahasiswa sosialisasi Ciptaker.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim menyoroti imbauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) agar mahasiswa tak ikut demonstrasi. Tak hanya itu, Kemendikbud juga mengimbau agar kampus menyosialisasikan Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja tentu saja hal ini mengandung beberapa kontradiksi.
"Imbauan agar kampus ikut mensosialisasikan UU Cipta Kerja justru mengandung kontradiksi yang mendalam," nilai Satriwan Salim dalam keterangannya, Senin (12/10).
Sebab, lanjut Satriwan, draf final Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja saja tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang. Apalagi ditambah keterangan DPR RI jika draf tersebut belum final. "Lantas yang disahkan ketika sidang paripurna itu apa? Terus apanya yang harus disosialisasikan oleh universitas," sindir Satriwan.
Apalagi, kata Satriwan Kemendikbud sudah membuat program "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" bahkan jadi slogan dimana-mana. Surat Kemdikbud ini merupakan bentuk "intervensi" nyata Kemdikbud, sehingga menjadikan kampus tidak lagi merdeka. Akhirnya kampus Merdeka tak ubahnya sekedar jargon kosong, di saat Kemendikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis.
"Ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemdikbud kontradiktif. Di satu sisi Kemdikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka," terangnya.
Justru menurut Satriwan, kampus sudah semestinya menyiapkan para generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik, intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, aktivis lingkungam, dan lainnya yang merasa dirugikan Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja ini.
Apalagi, lanjut Satriwan, para yqng namanya mahasiswa, belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok, ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri, mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas. Pada poin nomor 6 dikatakan menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi undang-undang tersebut.
"Justru kritik itulah yang tengah dilakukan mahasiswa, adapun aksi turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR RI dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya," terang Satriwan.
Semestinya, kata Satriwan, Kemendikbud memberi apresiasi kepada para mahasiswa yang sedang melakukan aktivitas kritisnya kepada DPR, karena demikianlah tugas seorang inetelektual. Pastinya aksi demonstrasi yang tidak merusak fasilitas umum misalnya. Kemendikbud juga tidak perlu alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja.
"Itu semua merupakan wujud kebebasan akademik, Kemendikbud tak seharusnya mengekang. Lagipula kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud," kata Satriwan.
Kemudian, munculnya reaksi para mahasiswa, buruh, dan kalangan sipil lainnya terhadap UU ini membuktikan, jika pemerintah dan DPR RI tidak transparan dalan proses pembuatannya. Juga tidak membuka ruang dialog, dan partisipasi kepada masyarakat sebagaimana ciri utama negara demokrasi. Para mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat.
"Kemdikbud hendaknya paham jika kampus itu bukan lembaga tukang stempel," tutup Satriwan.