Menlu Turki dan Rusia Bahas Konflik Azerbaijan-Armenia
Para menlu membahas pelanggaran gencatan senjata Azerbaijan-Armenia
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki Mevlut Cavusoglu dan Menlu Rusia Sergei Lavrov mengadakan percakapan melalui telepon membahas konflik yang tengah berlangsung di Nagorno Karabakh pada Ahad (11/10) waktu setempat. Keduanya membahas pelanggaran gencatan senjata Armenia di wilayah yang diperebutkan itu.
Menurut sumber diplomatik yang dilansir laman Anadolu Agency, Cavusoglu meminta Lavrov untuk memperingatkan Armenia untuk mematuhi gencatan senjata. Cavusoglu juga berbicara dengan Jeyhun Bayramov, mitranya dari Azerbaijan melalui telepon dan membahas serangan Armenia terhadap warga sipil.
Sebelumnya gencatan senjata sudah mulai berlaku pada Sabtu untuk pertukaran tahanan dan pengambilan jenazah. Kesepakatan tersebut dicapai dalam pertemuan trilateral di Moskow pada Jumat lalu antara para menteri luar negeri Rusia, Azerbaijan, dan Armenia.
Pemerintah Azerbaijan menyebut Armenia melanggar gencatan senjata di wilayah Nagorno-Karabakh yang diduduki tak lama setelah diberlakukan. Pasukan Armenia disebut melakukan serangan di wilayah Aghdara-Tartar dan Fuzuli-Jabrayil.
Kendati demikian, Menteri Luar Negeri Armenia Zohrab Mnatsakanyan mencatat bahwa Azerbaijan melanggar perjanjian gencatan senjata dengan melanjutkan serangannya terhadap Nagorno Karabakh (Artsakh).
"Gencatan senjata yang diumumkan dalam pernyataan bersama tanggal 9 Oktober di Moskow harus dihormati dan dilaksanakan. Azerbaijan terus menyerang Nagorno Karabakh setelah pukul 12 siang hari ini, melanggar komitmen mereka. Stepanakert dibom sekarang. Ini adalah agresi yang keji," ujar Mnatsakanyan dikutip laman Armen Press, Ahad kemarin.
Hubungan antara kedua bekas Republik Soviet itu telah tegang sejak invasi 1991. Namun, bentrokan baru-baru ini dimulai pada 27 September yang menyebabkan banyak korban sipil. Empat resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dan dua resolusi Majelis Umum PBB (UNGA), serta banyak organisasi internasional telah menuntut penarikan pasukan pendudukan.