Swaperiksa, 68 Persen Warga Alami Masalah Psikologis
Pandemi Covid-19 membuat masyarakat bergumul dengan masalah psikologis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak awal kasus Covid-19 ditemukan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) membuka layanan swaperiksa di web resminya. Layanan tersebut telah diakses 5.661 warga 31 provinsi dari bulan Maret hingga Oktober 2020.
"Dari swaperiksa tersebut, terdapat 68 persen masyarakat yang mengalami masalah psikologis," jelas Ketua Umum PDSKJI Dr dr Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS dalam acara webinar media: Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Kamis (14/10).
Dari 2.606 warga, sebanyak 67,4 persen di antaranya mengalami gejala cemas. Gejala kecemasan terbanyak ditemukan pada kelompok usia kurang dari 30 tahun.
"Mayoritas (75,9 persen) terjadi pada kategori usia di bawah 20 tahun disusul usia 20 sampai 29 tahun," ungkap Diah.
Selain itu, dari 2.294 swaperiksa, sebanyak 67,3 persen yang mengisi swaperiksa mengalami gejala depresi. Mayoritas (48 persen) responden berpikir lebih baik mati atau ingin melukai diri dengan cara apapun.
Pikiran kematian terbanyak pada rentang usia 18 sampai 29 tahun. Diah mengatakan, ini sudah masuk dalam gangguan jiwa mengarah sedang menuju berat.
"Ini perlu menjadi suatu konsentrasi kita, supaya bisa dicegah,” ujarnya.
Sementara itu, dari 761 swaperiksa, terdapat 74,2 persen yang mengalami gejala trauma psikologis. Kondisi itu terbanyak ditemukan pada kelompok usia kurang dari 20 tahun.
"Keluhan paling jamak berupa perasaan waspada terus menerus dan merasa sendirian atau terisolasi," tutur Diah.
Menurut Diah, perubahan akibat pandemi Covid-19 telah membuat orang jadi merasa berbeda sekali dengan yang biasanya. Ada yang orang tuanya meninggal sekaligus dalam satu waktu yang bersamaan dan anak-anaknya tidak bisa melihat atau bahkan mengantar ke kuburnya akibat penerapan protokol kesehatan pemakaman jenazah dengan Covid-19.
"Belum lagi selama perawatan, tidak bisa kontak langsung, ada macam-macam, masalah kejiwaan lain, masalah keributan rumah tangga, masalah ekonomi akhirnya menimbulkan perceraian. Banyak sekali masalah psikologis yang muncul pada saat pandemi ini,” ujarnya.