Gempa Bumi di Suriah Abad Pertengahan dan Pandangan Ulama
Gempa pernah terjadi si sejumlah wilayah Islam termasuk Suriah.
REPUBLIKA.CO.ID, Komunitas Muslim sudah sejak awal memiliki kewaspadaan terhadap bencana alam. Beberapa wilayah Muslim juga pernah dilanda gempa bumi skala besar.
Ensiklopedia Medieval Islamic Civilization menyebutkan, dampak yang dideritanya cenderung sama dengan negeri-negeri lain yang sempat mengalaminya. Tetapi, dalam konteks Abad Pertengahan, bencana demikian ikut memperlemah struktur sosial dan politik umat Islam. Sebagai contoh, Suriah yang dilanda banyak gempa sepanjang akhir abad ke-11, yakni pada 1050, 1063, 1068, 1069, 1086, dan 1091.
Penduduk setempat banyak yang menjadi korban tewas. Banyak bangunan dan rumah-rumah warga yang hancur atau bahkan rata dengan tanah. Aktivitas ekonomi dan keamanan pun mengalami kekacauan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Akhirnya, pada awal abad ke-12, Pasukan Salib dapat dengan relatif mudah menjebol pertahanan Suriah dan menaklukkannya.
Para sarjana Muslim pada abad pertengahan memandang fenomena gempa bumi secara berlainan.
Beberapa menyebut secara sekilas saja musibah tersebut tanpa merasa perlu menyelidikinya lebih jauh. Tapi, tidak sedikit yang menggambarkan kejadian gempa dengan begitu detail, antara lain, untuk mengenang keluarga atau komunitasnya pascaben cana.
Misalnya, Usama ibn Munqidh, seorang penyair dari abad ke-12 yang meng gubah sebuah sajak panjang setelah dia kehilang an banyak sanak familinya dalam gempa yang mengguncang Suriah.
Sejumlah ilmuwan Muslim juga menulis secara khusus tema gempa bumi, di luar pelbagai bencana lainnya, seperti wabah kelaparan atau sampar. Sebut saja al-Kindi (801-873), filsuf pertama dari dunia Islam dan sejarawan Ibn Asakir (1105-1176) yang membahas gempa di Mesir pada 952.
Selain itu, terdapat Jalaluddin al- Suyuti (1445-1505), seorang sarjana dari Mesir yang membuat daftar kejadian musibah di salah satu bukunya. Banyak penulis Muslim dari masa silam yang berpendapat bahwa gempa bumi disebabkan pergerakan gas di bawah permukaan tanah yang tidak bisa mencair ataupun keluar.
Tokoh-tokoh yang mengambil dugaan semacam itu, antara lain, al-Kindi, al-Biruni, dan Ibnu Sina. Mereka tetap memercayai takdir Allah di balik segala sesuatu. Tapi, penjelasannya tentang gempa diawali dengan hipotesis demikian bahwa ada gas yang bergerak-gerak di dalam tanah. Oleh karena itu, mereka dapat dikatakan ikut merintis penyelidikan ilmiah atas peristiwa gempa tektonik dan vulkanik.
Agak berbeda daripada mereka, beberapa mengawali pemaparannya tentang kejadian gempa dengan mengingatkan pembacanya akan kekuasaan Allah. Al- Suyuti, misalnya, menyatakan bahwa bencana ini terjadi sebagai akibat dari dosa-dosa penduduk yang menghuni titik pusat gempa dan sekitarnya.
Selain itu, penulis yang sama juga menghubungkannya dengan tanda-tanda datangnya kiamat besar, sebagaimana disinggung dalam Alquran dan sunah. Surat al-Zalzalah yang secara harfiah berarti 'gempa', umpamanya, juga kerap dikutip untuk mendukung keterhubungan antara gempa dan situasi (menjelang) hari akhir.