Bahrain-Israel Resmikan Hubungan Diplomatik

Bahrain menjadi negara Teluk Arab keempat yang menormalisasi hubungan dengan Israel.

EPA-EFE/JIM LO SCALZO
(Kiri ke kanan) Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed Al-Khalifa, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden AS Donald J. Trump dan Menteri Luar Negeri UEA Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan selama upacara penandatanganan Kesepakatan Abraham, yang menormalkan hubungan antara Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan Israel, di Halaman Selatan Gedung Putih di Washington, DC, AS, 15 September 2020.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Israel dan Bahrain sepakat meresmikan hubungan diplomatik. Bahrain menjadi negara Teluk Arab keempat yang menormalisasi hubungan dengan Israel.

Baca Juga


Kesepakatan yang ditengahi Amerika Serikat (AS) itu menutup agenda kunjungan satu hari pejabat AS dan Israel ke Bahrain. Israel diwakili Ketua Dewan Keamanan Nasional Meir Ben Shabbat.

Shabbat terbang langsung dari Tel Aviv ke Manama dengan penerbangan yang disepakati kedua negara pada 15 September lalu. Pada Ahad (18/10), Israel dan Bahrain menandatangani dokumen yang meresmikan hubungan bilateral antarkedua negara.

Mereka juga menyepakati tujuh memorandums of understanding (MoU). Pertemuan itu tampaknya membuka jalan bagi kedua negara membuka kedutaan besar dan mengirimkan duta besar ke masing-masing.

"(Kesepakatan ini) memulai hubungan antara dua negara yang mengarah pada kerja sama konstruktif di berbagai bidang," kata Menteri Luar Negeri Bahrain, Abdullatif al-Zayani seperti dikutip media Turki, Daily Sabah, Senin (19/10).  

Namun, Zayani menekankan Bahrain mendorong Israel dan Palestina mengakhiri konflik berdasarkan solusi dua negara. Sementara, AS diwakili Menteri Keuangan Steven Mnuchin.

Pada 15 September lalu, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) sepakat untuk meresmikan hubungan diplomatik, budaya, dan komersial dengan Israel usai menandatangani normalisasi hubungan yang ditengahi oleh Gedung Putih. Palestina mengencam keras perjanjian itu karena mengabaikan hak mereka dan tidak memberikan manfaat bagi Palestina. Pemimpin-pemimpin Palestina menyebut Bahrain dan UEA mengkhianti sikap lama negara-negara Arab terhadap negara Palestina. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler