Pandemi di Jawa: Kirab Pusaka Tunggul Wulung Hingga Masker

Beginiah kisah orang Jawa menghadapi pandemi dari Flu Spanyol hingga Covid-19

google.com
Bendera Tunggul Wulung di Kraton Yogyakarta
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, -- Bagaimana sih cara dan kisah orang Jawa di dalam menghadapi aneka pandemi? Kisah ini memang belum banyak yang tahu. Dan bila dikaji melalui  catatan sejarah mulai dari pandemi Flu Spanyol pada tahu 1920  yang seabad kemudian bermutasi menjadi wabah  pandemi flu yang disebut asal Wuhan, atau yang dikenal sebagi Covid-19, ternyata ada kenyataan yang menarik.

Pada tahu 1920 yakni pada waktu meledak pandemi flu Spanyol, kala itu belum dikenal secara masif soal pemakaian masker dan pengenaan ‘jaga jarak’ di dalam masyarakat.  Masyarakat di Jawa di Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, menanggulangi pandemi itu dengan cara melakukan kirab bendera Pusaka yang merupakan peninggalan Kesultanan Demak Bintara yakni pusaka Panji Tunggul Wulung. Panji ini diarak keliling banteng kraton. Hal yang sama juga dilakukan di Kotagede yang merupakan ibu kota awal dinasti Kesultanan Mataram.

Bagi orang Jawa, soal kemiskinan, perang, bencana, wabah penyakit adalah hal yang sudah sangat terbiasa  mereka alami. Dan di dalam sejarahnya mereka terbukti selalu mampu melewatinya dari waktu ke waktu. Ini mulai dari bencana yang terjadi sebelum tahun 1900-an hingga setelah 1900, misalnya pada pandemi wabah flu Spanyol atau wabah lain setelah datangnya krisis ekonomi besar dunia pada tahun 1930. Waktu itu ada wabah cholera dan pes.

Segala keriuhan ini tercatat secara apik dalam buku legendaris karya mendiang sejarawan Australia, MC Ricklefs yang bertajuk ‘Mengislamkan Jawa’. Buku ini berkisah begini:

Kebanyakan masyarakat Jawa yang hidup pada dasa warsa 1930-an kala itu masih menyakini bahwa keluarga kerajaan Jawa memiliki kekuatan magis mistis. Hal ini dicontohkan oleh respons terhadap wabah penyakit yang menyapu kota lama bernama Kotagede, yang terletak di kawasan selatan Yogyakarta.



Di kota ini, terdapat makam dari para pendiri dinasti Mataram, Senapati Ingalaga (meninggal 1601) dan Panembahan Seda ing Krapyak (meninggal 1613).

Kotagede dipenuhi oleh deretan rumah-rumah dan banyak jalan sempit di mana para pengrajin emas, perak, dan tembaga, para pembuat barang-barang dari kulit, seniman tempurung kura-kura serta pedagang perhiasan bekerja.

Pada 1931, wabah menyerbu kota sehingga warga kota yang lebih kaya memilih meninggalkan rumah-rumah mereka untuk pindah ke tempat lain, sementara mereka yang kurang beruntung memilih tetap tinggal sembari berjaga setiap malam karena takut penyakit akan datang dan mengambil nyawa mereka di kala tengah tertidur pulas.

Senjata-senjata pusaka yang dianggap memiliki kekuatan super natural diarak keliling kota untuk mengusir wabah penyakit. Pada akhirnya, Sultan Hamengkubuwana ke VIII dari Yogyakarta pun dimohon kesediannya  untuk mengizinkan salah satu pusaka kerajaan yang paling suci, bendera Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, untuk diarak. Bendera tersebut diyakini dibuat dari kain yang menutupi dinding Ka’bah (Kiswah). Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kiai Slamet.

Sang Sultan menyetujui permohonan tersebut, tetapi Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak hanya di seputaran kota Yogyakarta, dan bukannya Kotagede. Kali sebelumnya pusaka itu diarak adalah ketika wabah influenza menyerang pada 1918 dan keyakinan umum bahwa wabah itu berhenti karena pengarakan pusaka-pusaka tersebut. Sebelumnya, Kiai Tunggung Wulung dan Kiai Slamet diarak pada tahun 1876 juga ketika wabah menyerbu kota.

Dititahkan bahwa kali ini kedua pusaka kerajaan tersebu akan diarak pada malam tanggal 21-22 Januari 1932, ketika pertemuan antara sistem minggu lima hari dan tujuh hari jatuh pada hari Jumat Kliwon, yang diyakini sebagai hari terbaik dari sudut pandangan supranatural bagi Kiai Tunggul Wulung.

 

  • Keterangan foto: Para dokter dan mantri tengah menyuntikan vaksin cacar ke penduduk di sebuah kota di Jawa pada dekade awal 1900-an. (foto: Gahetna.nl)

Setelah persiapan ritual dan persembahan yang sesuai, seratus tokoh agama (pamethakan) mempersiapkan diri untuk mengusung kedua pusaka keluar dari istana. Azan dikumandangkan secara bersama-sama diikuti oleh pendarasan doa. Kemuidan rombongan besar disusun dan berjalan ke luar dari kraton dengan membawa bendera-bendera suci.

Di luar ribuan orang Jawa sudah menanti. Kalau orang berpikir bahwa prosedur ini dalam beberapa aspek sepenuhnya bersifat Islami, perlu dicatat di sini bahwa tahapan selanjutnya adalah memberikan persembahan atau sesaji kepada ‘waringin kurung’ pohon beringin berpagar di alun-alun Yogyakarta yang (hingga kini) dipercaya memiliki kekuatan supernatural.

Sesaji yang dipersembahkan berupa kerbau albino (kebo bule) berjenis kelamin betina, tempurung berbagai jenis kura-kura, dan semacamnya. Rombongan tersebut terdiri dari para pemuka agama, tentara, dan kaum bangsawan dipimpin oleh ‘pangulu’ (kepala urusan keagamaan kraton) yang menaiki kuda — dan ribuan masyarakat yang hadir kemudian berjalan kaki mengelilingi kota Yogyakarta, berhenti di sembilan titik yang telah ditentukan sebelumnya untuk berdoa.

Pada pukul 5 pagi, pusaka-pusaka-pusaka yang diarak dikembalikan ke istana di mana Sultan yang berjaga sepanjang malam menanti. Pangulu kemudian memimpin dan mengawasi penyembelihan hewan kurban di alun-alun utara.

                                      ****

Lalu bagaimana cara orang Jawa ketika menghadapi pandemi Covid-19 pada tahun 2020 ini. Pada sebuah tayangan di Yoautube, seniman Jogjakarta Butet Kertadjasa sempat menanyakan soal ini pada Sri Sultan Hamengku Buwono ke X. Dia bertanya mengapa Sultan Jogja tak lagi melakukan kirab pusaka Panji Tunggul Wulung keliling benteng kraton yang sekitar tahun 1950-an juga dilakukan ketika terjadi wabah pes?

Dalam hal ini jawaban Sultan Hamengku Buwono ke-X sungguh menarik. Sultan menjawab bahwa kirab Tunggul Wulung tidak dilakukan karena hanya akan menimbulkan pro kontra. Buttet kemudian menyela bila hal itu dilakukan Sultan memang akan dikritik habis-habisan. Butet bahkan menyebut bila itu dilakukan Sultan maka bisa di ‘razam’ para pengguna media sosial.

Dan menanggapi soal itu, Sultan terlihat bersikap sangat bijak. Dia mengatakan, selain karena akan menimbulkan kontroversi karena Covid-19 merupakan pandemi dunia, maka dirinya kini memilih mengeluarkan kebijakan serasional mungkin. ’’Mungkin atau bisa saja melakukan kirab Panji Tunggul Wulung akan wabah hilang. Tapi saya memilih kebijakan rasional yakni meminta masyarakat memakai masker, cuci tangan, hingga jaga jarak.”

Namun dalam percakapan itu, Sultan kemudian menyatakan jika kini memang ada tantangan besar. Salah satunya adalah penyelenggaraan pilkada yang akan segera digelar. ’’Mungkin sola pakai masker, cuci tangan mudah dilakukan dalam pilkada. Tapi soal  pengaturan jaga jarak dalam kampanye pilkada saya kira hal sulit. Apalagi bila cara kampanye itu dilakukan dengan cara berdiri. Ini tentu jaga jarak menjadi semakin sulit dilakukan. Mungkin kalau kampanye dengan cara duduk ketentuan jaga jarak masih bisa dilakukan,’’ tandas Sultan.

Terkait tenting kepatuhan masyarakat Jawa kepada protokol kesehatan dalam pandamı Covid-19, akademisi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, DR Sobirin Malian, mengatakan masyakat Jawa —khususnya Yogyakarta — terlihat cukup taat menjalankan protokol kesehatan. Pengenaan masker di ruang publik dan gaga jarak telah dilakukan dengen cukup kesadaran.

‘’Secara budaya mereka memang patuh kepada setiap imbauan Sultan untuk memakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Ini saya lihat dan rasakan secara langsung. Dan cara aparat memberi sanksi kepada para pelanggar protokol kesehatan pun mendidik. Ini seperti harus bernyanyi, menghapal Pancislla, dan paling maksimal adalah denga minta ‘push up’ kepada kaum pria muda. Dan razia pun dilakukan dengan serius dan rutin. Hampir tiap hari di semua wilayah di Jogja pasti ada razia protokol kesehatan Covid-19,’’ ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, ketika menyimak tayangan yang ada di Youtube  soal sikap Sultan terhadap pelaksanaan protokol kesehatan selama masa pandemi ini, terlihat dia tak nyaman dengan pelaksanaan pilkada yang akan segera berlangsung itu. ‘’Sultan tampak khawatir atau ragu bila masyarakat dapat mentaati ketentuan protokol kesehatan, terutama jaga jarak. Meski begitu Sultan terlihat tak ingin dianggap ‘mbalelo’(membangkang) oleh pemerintah pusat.Ini pertanda Sultan memang serius memikirkan keberlangsungan nasib kehidupan rakyatnya.’’

“Sultan pasti sangat paham Jogja sebagai kota wisata dan pelajar harus tetap hidup. Maka masyarakat harus tetap dapat beraktivitas untuk mencukup kebutuhan ekonominya. Rakyat kecil, seperti kaum pedagang harus tetap berjualan. Dan itu dimintanya tetap dengan mentaati protokol kesehatan. Dan di sini rakyat Jogja mematuhi himbauan Sultan. Kiranya inilah yang membuat Covid-19 lumayan terkendali di Jogja atau dalam masyarakat yang mendiami wilayah kesultanan Mataram Yogyakarta,’’ kata Sobirin menandaskan.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler