Investasi Bodong Capai Rp 92 T, OJK: Edukasi Harus Digenjot
Bnayaknya jumlah korban akibat investasi bodong di Tanah Air menjadi tantangan OJK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan akan terus memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menekan kasus investasi ilegal alias bodong. OJK mencatat nilai investaso bodong mencapai Rp 92 triliun dalam kurun waktu dari 2009 hingga 2019.
"Ini jumlah yang tidak sedikit. Apalagi kita bandingkan dengan pertumbuhan market cap kita, per tahunnya untuk mencapai angka Rp 100 triliun agak berat juga. Artinya jumlah ini jumlah yang tidak kecil. Menyadari hal tersebut, berbagai upaya perlu kita lakukan, baik dari perbaikan regulasi, penguatan kewenangan, dan upaya-upaya koordinasi lintas kementerian/lembaga dan tentu saja kegiatan edukasi dan literasi yang terus menerus harus dilakukan," kata Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A OJK Luthfy Zain Fuady dalam seminar rangkaian kegiatan Capital Market Summit & Expo 2020 di Jakarta, Kamis (22/10).
Luthfy menuturkan masih terus berjatuhan korban akibat investasi bodong di Tanah Air menjadi tantangan bagi pemerintah termasuk OJK. Sebagai regulator di bidang investasi, OJK akan hadir dan memberikan perlindungan yang optimal bagi masyarakat dari ancaman investasi ilegal tersebut.
"Karena faktanya, kerugian yang diderita masyarakat tidak hanya timbul dari investasi bodong, dalam arti investasi ilegal, tidak berizin, dan lain-lain, tetapi bahkan juga dapat terjadi pada bentuk investasi yang secara entity mereka adalah legal. Namun karena buruknya kualitas governance dan juga ada moral hazard dari pengelolanya, maka timbul kerugian dari para investor," ujar Luthfy.
Menurut Luthfy, adanya ruang-ruang kosong dalam regulasi investasi dan kewenangan antar lembaga, juga sering dimanfaatkan oleh para pelaku investasi bodong yang dengan cerdas dan berani menciptakan produk-produk investasi yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki karakter no where dalam peta hukum positif investasi Indonesia.
"Segera kita menyadari bahwa yang kita hadapi bukan hanya sosok-sosok yang jahat, tapi sekaligus sosok yang paham regulasi dan paham bagaimana memanfaatkan celah regulasi tersebut," katanya.
Sementara korban terus berjatuhan, lanjut Luthfy, produk investasi aneh terus saja bermunculan dan sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, selain memerangi investasi bodong, perlu upaya bersama agar tidak hanya modusnya yang berhenti dan pelakunya yang ditangkap dan dipenjarakan, tapi juga bagaimana kerugian para korban dapat dilakukan pemulihan.
"Pendekatan restorative justice, rasanya perlu kita kaji lebih dalam dan kita terapkan dalam penanganan investasi bodong ini. Karena akan menjadi kurang bermakna, jika pelaku kejahatannya dihukum, produknya berhenti, hukuman penjara seberat-beratnya, tapi tidak terjadi pemulihan kerugian para korban. Rasanya kurang sempurna upaya penegakan hukum kita itu," ujar Luthfy.
Ia mencontohkan kasus First Travel dimana modus investasi bodong akhirnya berhenti dan pelakunya dipenjara, tetapi tidak terjadi pemulihan kerugian dari para jamaah ataupun nasabahnya. "Ini ke depan hal-hal seperti ini tentu lah mengusik nurani kita, bagaimana ke depan kita bisa memperbaiki hal tersebut. Sehingga penegakan hukum tidak hanya berdampak ke pelaku pelanggaran, tapi harus juga berdampak positif pada korban pelanggaran tersebut," katanya.