Karya Seni Jalinan Peradaban

Proses pembuatan karya seni dengan kolaborasi mempunyai tantangan tersendiri.

ANTARA/Wahdi Septiawan
Pekerja membuat sketsa untuk menyusun ulang struktur batu bata yang sebelumnya tertimbun saat pemugaran Candi Kedaton di Kawasan Percandian Muarajambi, Jambi, Rabu (9/9/2020). Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi kembali melanjutkan pemugaran Candi Kedaton yang merupakan candi terbesar dan terluas di kawasan percandian tersebut yang ditargetkan ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Sebanyak 10 seniman dari Kilau Art Studio Jakarta berkolaborasi dengan 40 orang perajin resam dan masyarakat Kabupaten Muaro Jambi untuk membuat karya instalasi gigantik Harmoni(S). Karya instalasi itu merupakan respons atas keberagaman masyarakat Jambi. 


Pada kegiatan yang didukung oleh Kemendikbud RI lewat program Fasilitasi Bantuan Kebudayaan (FBK) 2020 itu, Kilau Art Studio Jakarta menyinggung isu lingkungan lewat resam. Mereka mencoba memuliakan resam yang dijadikan sebagai bahan baku karyanya. 

"Kami juga memuliakan resam yang notabennya adalah gulma sebagai bahan baku. Hal tersebut semata-mata sebagai sindiran terhadap kondisi lingkungan di berbagai wilayah negeri ini," ujar Ketua Komunitas Kilau Art Studio, Saepul Bahri, dalam keterangan tertulis, Selasa (27/10). 

Sementara itu, visi lain dari Kilau Art Studio adalah dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipan dalam proses pengerjaan karya gigantik Harmoni(S). Itu dilakukan dengan tujuan agar nilai-nilai kebersamaan dan kolaborasi yang direpresentasikan dalam bentukan karya tersebut benar-benar nyata dan dirasakan. 

Anggota Komunitas Kilau Art, Rengga, menjelaskan, tujuan komunitasnya saat menerima bantuan dari Kemendikbud adalah menciptakan sebuah karya yang bukan bersumber dari ego komunitas saja. Karya yang mereka buat diharapkan menjadi karya yang bisa dimiliki siapa saja karena melibatkan banyak orang. 

"Selain itu dengan kolaborasi, kami berharap adanya transfer ilmu pengetahuan baik itu dari komunitas ke pengrajin dan masyarakat, maupun sebaliknya," ungkap Rengga. 

Rengga menambahkan, proses pembuatan karya dengan kolaborasi mempunyai tantangan tersendiri, yakni bagaimana setiap pihak bisa saling menerima dan berkompromi satu sama lain. Itulah dialektika yang ditawarkan melalui Harmoni(S) itu. 

 

Resam dan Ancaman Lingkungan 

 Sementara itu, pemanfaatan gulma resam, dalam bahasa latin dicranopteris linearis, yang merupakan pakis hutan sebagai bahan baku utama pembuatan karya ini membawa pesan khusus yang hendak disampaikan ke masyarakat. Menurut Hendra, pemuliaan resam yang menjadi inti dari karya gigantik itu membawa pesan pengingat bahwa kondisi lingkungan sedang terancam. 

Dua lokasi yang menjadi fokus karya Harmoni(S), yakni Desa Sukamaju dan kawasan penopang cagar budaya Candi Muaro Jambi, dia sebut sudah lama menghadapi ancaman lingkungan. Desa Sukamaju sendiri merupakan daerah penyuplai bahan baku resam dan perajin yang berkolaborasi. 

Di Desa Sukamaju, masifnya perkebunan sawit membawa dampak negatif bagi lingkungan sekitar. Sementara itu, tidak jauh dari kawasan penopang cagar budaya Candi Muaro Jambi, ancaman tambang batu bara sudah lama meresahkan masyarakat, di samping adanya kepungan sawit pula. 

“Ya, intinya itu, warning atas dampak perluasan infrastruktur. Ini (karya Harmoni(s)) juga bisa menjadi mitigasi dampak negatif infrastruktur pada ekosistem setempat,” kata kurator seni, Hendra. 

Namun, di balik ancaman tersebut, kehadiran resam juga menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat. Jauh sebelum karya gigantik Harmoni(S) dibuat, resam sudah lama dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk berabagai macam kerajinan. 

“Adanya kerajinan dari resam ini merupakan bentuk pemanfaatan sampah ekologis budidaya silvikultur. Bisa menjadi road map ekonomi kreatif berbasis gulma meski ironisnya juga menjadi tanda keragaman hayati ekosistem yang terganggu. Istilahnya, berkah misterius dari tragedi deforestasi,” jelas Hendra. 

Petugas pemugaran menunjukkan gerabah yang ditemukan saat ekskavasi di Candi Kedaton, Kompleks Percandian Muara Jambi, Muarajambi, Jambi, Selasa (26/6). - (Antara/Wahdi Septiawan)

Lansekap Klasik 

Sorotan lain yang menarik dari karya itu adalah terkait lokasi penempatan karya. Kawasan kompleks candi yang dahulu sakral dan seolah tidak tersentuh dengan kehadiran budaya baru, justru dipilih menjadi tempat karya Harmoni(S) berdiri. 

“Seniman-seniman dari Kilau Art Studio seolah ingin menyambung masa lampau dengan fenomena saat ini,” ujar kurator seni, Bambang Asrini Widjanarko. 

Bambang juga menyinggung Candi Kedato, candi yang paling dekat dengan karya Harmoni(S) di kompleks Candi Muaro Jambi, sebagai Global Ancient College. Di mana candi tersebut pada 1.200 tahun yang lalu menjadi tempat ajar-mengajar dengan ribuan murid dan peziarah. 

“Seni diperlukan untuk menyampaikan ke luar bahwa ada sebuah peradaban kuno yang hingga kini terawat dengan baik dan bisa menjadi refleksi bagi kita semua,” kata Bambang. 

Sementara itu, orientasi Candi Kedaton sebagai warisan budaya masa lampau dan karya seni Harmoni(S) sebagai representasi budaya kekinian juga disebut menarik untuk disimak. Menurut Hendra, Candi Kedaton sebagai peninggalan budaya masa lampau berorientasi pada sungai, sebagai penghubung dan pusat mobilitas kala itu. 

"Bandingkan dengan karya Harmoni(S) yang berorientasi pada aspal (jalan raya) yang kini juga kita ketahui amat penting di era modern saat ini. Sebuah fenomena yang cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut,” ungkap Hendra. 

Kehadiran karya seni gigantik Harmoni(S) ia sebut bisa menjadi penanda era baru seni kontemporer yang berbasis pada kolaborasi, isu kekinian dan pemanfaatan wilayah-wilayah inti. Tentunya hal tersebut juga harus ditunjang dengan riset dan indikator yang memadai. 

 

“Sebuah model karya seni yang melahirkan kegiatan ekonomi padat karya, padat ide, dan realistis,” ujar Hendra. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler