Mayra Gomez Pilih Trump, Anak: Kamu Bukan Ibu Saya Lagi!

Pemilu 2020 telah memecah belah keluarga di AS.

EPA-EFE/ETIENNE LAURENT
Orang-orang menyaksikan debat Pilpres 2020 kedua di Abbey di West Hollywood, California, AS, 22 Oktober 2020. Pemilihan presiden AS dijadwalkan berlangsung 03 November 2020.
Rep: Lintar Satria Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, LOS-ANGELES -- Saat Mayra Gomez memberitahu anaknya ia akan memilih Donald Trump pada pemungutan suara Selasa (3/11), sang putra yang berusia 21 tahun marah. Anaknya lalu memutus hubungan dengan Gomez.

"Ia dengan khusus mengatakan pada saya, 'Kamu bukan ibu saya lagi, karena kamu memilih Trump'," kata Gomez, Senin (2/11) satu hari sebelum pemungutan suara.

Perawat di Milwaukee itu mengatakan percakapan terakhirnya dengan putranya sangat getir. Ia tidak yakin mereka bisa berbaikan walaupun Trump gagal kembali berkuasa di periode kedua.

"Kerusakan sudah terlanjur, di pikiran orang-orang, Trump itu monster, ini menyedihkan, ada orang-orang yang tidak lagi berbicara dengan saya dan saya tidak yakin hal itu akan berubah," kata Gomez.

Perempuan berusia 41 tahun itu mengatakan ia mendukung kebijakan ekonomi Trump dan caranya dalam menangani isu imigran ilegal. Gomez bukan satu-satunya yang kehilangan keluarga karena pemilu 2020.

Masa jabatan Trump yang penuh gejolak telah memecah belah keluarga dan pertemanan. Pakar menilai sulit hubungan-hubungan yang retak itu untuk diperbaiki meskipun Trump tidak lagi duduk di Gedung Putih.

Sepuluh pemilih yakni lima pendukung Trump dan lima pemilih calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden mengaku ada hubungan yang retak karena pemilu ini. Sebagian yakin hubungan itu tidak dapat diperbaiki lagi.  

Selama empat tahun terakhir Trump banyak melanggar norma-norma kepresidenan. Hal ini memicu ketegangan antara pendukung dan penentangnya. Banyak pendukungnya yang memuji kebijakan presiden di isu imigrasi dan keputusannya menunjuk orang konservatif sebagai hakim.

Para pendukung Trump menyukai sikap mantan pengusaha properti itu yang membuang hal-hal konvensional. Mereka menilai kata-kata kasar Trump sebagai kejujuran dalam mengungkapkan pikiran.

Partai Demokrat dan pihak lain menilai Trump ancaman terhadap demokrasi Amerika, pembohong dan rasis yang gagal menanggulangi pandemi virus Corona. Virus telah menewaskan 230 ribu lebih warga AS. Trump menyebut kritikusnya sebagai 'berita palsu'.

Di jajak pendapat Joe Biden masih lebih unggul daripada Trump. Tetapi masyarakat mulai bertanya-tanya apakah perpecahan yang ditimbulkan Trump dapat berakhir setelah mantan pembawa acara realitas televisi itu kalah.

"Sayangnya, saya pikir bangsa tidak dapat pulih dengan mudah seperti mengganti presiden," kata psikoterapis Rochester Center for Behavioral Medicine, Jaime Saal.

"Butuh waktu dan butuh kerja keras dan dari kedua belah pihak, tidak bermaksud canda, untuk berniat mengikhlaskan dan melangkah maju," katanya.

Saal mengatakan dinamika politik, sosial dan kesehatan meningkatkan ketegangan hubungan personal masyarakat Amerika. Ia sering menjumpai klien yang bersitegang dengan saudara, orang tua, atau mertua karena politik. n Lintar Satria/Reuters

Baca Juga


 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler