Sering Pilek, Anak-Anak Lebih Terlindungi dari Covid-19?
Anak memiliki antibodi alami untuk melawan kuman-kuman penyebab pilek.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak dinilai memiliki perlindungan alami yang lebih kuat dalam menghalau Covid-19. Kecenderungan ini dinilai berkaitan dengan seringnya anak-anak terkena pilek.
Studi yang dilakukan oleh Francis Crick Institue menunjukkan bahwa anak memiliki antibodi alami untuk melawan kuman-kuman penyebab pilek. Antibodi alami ini ternyata juga memberikan sebagian perlindungan terhadap Covid-19, meski sang anak belum pernah terkena Covid-19. Antibodi ini disebut sebagai antibodi cross-reactive.
Berdasarkan analisis terhadap 300 sampel darah, tim peneliti mengungkapkan bahwa 43,8 persen anak di bawah usia 16 tahun memiliki reaksi silang antibodi. Pada orang dewasa, hanya sekitar 5,3 persen saja yang memiliki antibodi seperti ini.
Dengan kata lain, anak-anak memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar untuk memiliki antibodi alami yang dapat melindungi mereka dari infeksi SARS-CoV-2 dibandingkan pada orang dewasa. Temuan ini dinilai memberi sedikit penjelasan mengenai alasan anak muda cenderung lebih jarang mengalami gejala berat Covid-19.
"Temuan kami menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki antibodi cross-reactive ini dibandingkan orang dewasa," tukas ketua tim peneliti Kevin Ng, seperti dilansir The Sun.
Tim peneliti menilai hal ini mungkin terjadi karena anak-anak lebih banyak terpapar oleh jenis virus corona lain. Misalnya, jenis virus corona yang menyebabkan selesma alias pilek. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik.
Peneliti George Kassiotis mengatakan, antibodi yang terbentuk ketika terkena pilek masih bisa mengenai Covid-19. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih baik mengenai aktivitas antibodi ini dapat mendorong terciptanya vaksin yang bekerja dengan baik dalma melawan beragam virus corona.
"Termasuk galur virus corona penyebab pilek, SARS-CoV-2, dan kemungkinan galur lain yang dapat menyebabkan pandemi di masa depan," ujar Kassiotis.