Benarkah Jakarta Amburadul Seperti Tudingan Megawati?

Masyarakat tanpa budaya berkota bisa jadi sebabkan Jakarta amburadul.

ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Seorang anak melintasi tumpukan sampah di Kampung Gasong, Menteng Pulo, Jakarta. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengatakan Jakarta sebagai kota yang seperti tidak tertata baik atau amburadul.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Febrianto Adi Nugroho

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengaku heran Jakarta tidak masuk daftar Kota Ramah Mahasiswa atau City of Intelect versi riset Universitas Negeri Jakarta. Katanya, Jakarta adalah kota yang kini amburadul.

"Saya bilang Jakarta ini menjadi amburadul, karena apa? Ini tadi seharusnya City of Intellect ini dapat dilakukan tata kotanya, masterplan-nya, dan lain sebagainya, siapakah yang buat hal ini tentunya para akademisi, insinyur dan lain sebagainya dan lain sebagainya," kata Megawati, kemarin (10/11).

Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriayatna, melihat sisi amburadulnya Jakarta dari faktor masyarakatnya. Jakarta amburadul akibat kurangnya edukasi terhadap masyarakat tentang budaya atau perilaku hidup di perkotaan.

"Amburadul kotanya itu karena kurang teredukasinya masyarakat tentang budaya berkota. Jadi, ibaratnya Jakarta ini dibangun modern, apa-apa dibangun, tapi jiwa warganya itu belum terbangun. Jadi ibaratnya kotanya metropolitan, tapi mentalnya masih katrokan," kata Yayat saat dihubungi Republika, Rabu (11/11).

Yayat menjelaskan, beberapa waktu lalu Jakarta memang mendapatkan penghargaan dunia dalam hal integrasi transportasi publik, yakni Sustainability Transport Award (STA) 2021. Namun, prestasi itu tidak sejalan dengan tindakan masyarakat yang justru membakar fasilitas publik, yakni halte bus Transjakarta saat demo tolak omnibus law UU Cipta Kerja.

"Ketika dunia menilai, mengapresiasi penilaian transportasinya, tapi kok halte-haltenya kemarin dibakar waktu demo. Kenapa harus dirusak? Kenapa fasilitas-fasilitas publik yang tujuannya juga untuk warga Jakarta itu dibakar?" ujarnya.

"Sepertinya orang tidak menyadari bahwa itu milik masyarakat. Pertanyaannya, rasa memiliki itu tidak muncul karena tidak punya budaya berkota," lanjut dia.

Yayat menjelaskan, budaya berkota artinya peduli dan merawat kondisi kota, tempat bermukim. Kemudian taat terhadap aturan yang ada.

Namun, ia menilai kepedulian itu belum tampak di Jakarta sehingga menimbulkan kesan amburadul. Faktanya, jelas dia, tampak dari sejumlah pelanggaran yang dilakukan, seperti membuang sampah sembarangan, parkir sembarangan, dan tidak tertib dalam berlalu lintas.

"Jadi intelektual itu artinya orang yang punya edukasi, punya pengetahuan, pengalaman yang bisa menghargai kotanya. Kita ini selama ini bangun, bangun, tapi nggak pernah diajarkan ke masyarakat, bagaimana kita hidup lebih teratur, lebih tertib dengan hasil pembangunan," jelas dia.

Di sisi lain, ia mengatakan, Jakarta juga menghadapi tekanan urbanisasi yang besar. Sehingga, menurut dia, harus ada program bina kependudukan yang dapat mengedukasi warga dalam hal menghargai pembangunan yang dilakukan pemerintah provinsi.

"Kalau bisa pemimpinnya juga harus lebih turun ke bawah, merasakan. Kalau kita melihat Kota Surabaya kok jadi apik sih? Karena itu tadi, pemimpinnya turun ke bawah, ikut terlibat mengubah (perilaku masyarakat)," ungkap Yayat.

"Jadi maksud saya itu, kita juga perlu menggerakkan tokoh-tokoh masyarakat untuk ikut mengedukasi. Sama contoh, Jakarta ini ada PSBB, PSBB Transisi, tapi nggak berubah tuh perilakunya (masyarakat)," sambungnya.

Yayat menuturkan, bukan hanya pembangunan infrastruktur yang harus dilakukan, tetapi juga perlu adanya ketegasan dari Pemprov DKI dalam membangun perilaku masyarakat. Sebab, menurutnya, pembangunan perilaku masyarakat di Jakarta masih kurang.

"Iya, tegas itu bukan artinya harus keras. Artinya itu taat aturan, tapi untuk sampai sana kan ketegasan itu bisa menimbulkan penghormatan kalau keberadaan pemimpin-pemimpin yang turun ke bawah, ikut mengedukasi (masyarakat) itu juga penting," tutur dia.

Baca Juga




Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohammad Taufik, punya pendapat berbeda soal kondisi Jakarta. Politikus Gerindra itu mengatakan, baru-baru ini Ibu Kota justru memperoleh sejumlah penghargaan, salah satunya dalam hal integrasi transportasi publik. "Saya kira gini, dalam waktu yang hampir bersamaan, DKI banyak mendapat penghargaan, berbagai jenis ya," kata Taufik saat dikonfirmasi, Rabu (11/11).

Taufik menjelaskan, penghargaan itu tentu diberikan sesuai dengan pertimbangan dan penilaian. "Orang memberikan penghargaan kan berdasarkan pertimbangan dan penilaian," ujarnya.

Oleh karena itu, ia menilai, harus ada kota pembanding dalam pernyataan Megawati tersebut. Sebab Taufik menuturkan, perolehan sejumlah penghargaan itu dapat menunjukan adanya upaya perbaikan dalam tata kelola Jakarta, khususnya pada bidang transportasi umum.

"Saya kira saya belum bisa menilai pernyataan itu. Mau dibandingkan sama siapa? Kan harus ada pembandingnya," jelas dia.

"Saya kira, penghargaan dari berbagai kelompok kayak kemarin soal transportasi, itu juga harus dilihat sebagai suatu bentuk, suatu upaya perbaikan," sambungnya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, menerima kritik dan komentar terhadap Ibu Kota. Menurut dia, hal itu dianggap sebagai obat untuk memotivasi Pemprov DKI dalam meningkatkan kinerja yang lebih baik.

"Jadi siapa pun memberikan masukan kritik kami anggap sebagai obat untuk menyemangati kami, memotivasi kami untuk terus berbuat dan meningkatkan kinerja, perbaikan dan kualitas daripada Kota Jakarta ke depan," tutur Ariza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (10/11).

Ariza menyebut, pihaknya menghargai semua komentar yang ditujukan kepada Jakarta. Ia menilai, dengan adanya masukan dan kritik dapat membantu perbaikan Ibu Kota.

"Kami menghormati menghargai siapa pun memberikan komentar atas kota Jakarta, kami anggap semua masukan kritik sebagai obat bagi kami untuk terus meningkatkan dan memperbaiki Kota Jakarta sebagai kota yang maju dan bahagia warganya," tutur Ariza.

Lebih lanjut Ariza mengungkapkan, Pemprov DKI juga telah bekerja sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Dia menjelaskan, bentuk pembangunan itu pun melibatkan pihak DPRD DKI, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga ormas.

"Yang kedua, kami terus berbuat sesuai dengan ketentuan undang-undang RPJMD, capaian-capaiannya sudah bisa dilihat masyarakat, masyarakat bisa melihat, kemajuan daripada Kota Jakarta yang kita cintai ini. Dalam pembangunannya, kami selalu melibatkan semuanya, mulai partai politik yang ada di Jakarta, melalui DPRD, ormas, komunitas tokoh-tokoh agama, tokoh tokoh pemuda, tokoh masyarakat semua terlibat bersama-sama membangun Kota Jakarta," papar Ariza.

"Inilah Kota Jakarta yang kita bangun bersama dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kami terus membangun untuk kepentingan warga Jakarta dan tentu untuk kepentingan masyarakat banyak, termasuk kepentingan bangsa-negara," lanjutnya.

Kemarin, penghargaan City of Intelectual diberikan UNJ kepada tiga daerah di Indonesia, yakni Semarang, Solo, dan Surabaya. Kriteria yang menjadi penilaian City of Intelect, di antaranya terdapat dua perguruan tinggi dengan reputasi baik, keamanan, dan keterjangkauan biaya hidup.

Megawati hadir di acara tersebut untuk memberikan penghargaan kepada kota yang dipandang riset ramah ke mahasiswa. Dalam sambutannya, Megawati mengatakan Presiden pertama RI Soekarno melalui prasasti Daksinapati 15 September 1953 telah menetapkan Rawamangun sebagai kota ramah mahasiswa.

Menurutnya, pemikiran Soekarno lebih maju 57 tahun lebih maju dibandingkan dengan perkembangan masyarakat internasional pada saat ini yang baru melakukan pemeringkatan kota mahasiswa di dunia.

"Sayang Rawamangun itu belum berhasil atau tidak berhasil menjadi City of Intellect. Jadi maksud saya, saya mohon dengan sangat dengan cara-cara akademis melihat kita ini tujuannya mau ke mana," tuturnya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler