KADIN: Hanya Jokowi Berani Hadapi Pro-Kontra UU Ciptaker
Adanya UU Cipta Kerja, para investor lebih melirik Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah reformasi, Indonesia produktif membuat Undang-Undang (UU). Dari sekian UU yang ada, itu tidak harmonis antara satu dengan lainnya sehingga cenderung menghambat investasi. Ini yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam di mata para investor.
Pendapat itu disampaikan kata Ketua Kompartemen Industri Tekstil dan Alas Kaki Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Ade Sudrajat Usman dalam seminar daring, Rabu (11/11). “Indeks kemudahan investasi Indonesia kalah dari Vietnam karena regulasi di Indonesia terlalu bertumpuk-tumpuk antara satu dengan yang lainnya, sehingga menghambat,” kata dia.
Dalam seminar bertajuk Menjawab Tantangan Meningkatkan Investasi Berkualitas dan Kesejahteraan Masyarakat dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diselenggarakan oleh PPM LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ade menyampaikan hambatan-hambatan tersebut sudah disampaikan KADIN kepada pemerintah sejak 2003. Namun, kata dia, hanya Presiden Joko Widodo yang memiliki keberanian menghadapi pro-kontra seperti saat ini di tengah masyarakat dalam merespon UU Cipta Kerja.
“Tidak ada presiden yang berani menghadapi pro-kontra seperti yang dihadapi oleh Jokowi saat ini. Jokowi menghadapi pro-kontra itu dan dia nothing to lose demi Indonesia yang lebih maju lagi,” ujar dia.
Ade pun mencontohkan bagaimana menghambatnya izin usaha di Indonesia selama ini yang dikeluhkan pelaku usaha, sehingga penciptaan lapangan kerja melambat. “Misalnya, saya mau investasi di Jawa Timur. Maka saya harus mengurus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Jakarta, yang mana prosesnya paling cepat satu hingga dua tahun,” ucap dia.
Menurut Ade, proses perizinan yang lama menyebabkan hilangnya calon investor. Terlebih, kata Ade, tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk proses perizinan.
Itu baru perizinan tingkat pusat. Belum melewati rangkaian Peraturan Daerah (Perda) turunan dari UU terkait. Misal, untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diperlukan izin lokasi sampai urusan administrasi lain yang banyak membutuhkan biaya.
Disahkannya UU Cipta Kerja menurut Ade, sudah memberikan sinyal yang baik bagi harmonisasi regulasi dan iklim usaha yang lebih kondusif. Meski begitu, masih butuh waktu menunggu aturan turunan dari UU Cipta Kerja untuk pengimplementasiannya.
Juga disahkannya Omnibus Law ini, menjadi penyempurna bagi upaya pemerintah yang selama ini gencar dalam membangun infrastruktur fisik, demi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. “Pembangunan infrastruktur itu perlu ditunjang oleh iklim usaha yang lebih kondusif lagi yang berupa kebijakan (UU Cipta Kerja) agar mendorong investasi lebih besar dan mendukung UMKM sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar lagi,” kata dia.
Saat ini, kebutuhan penciptaan lapangan kerja sangat mendesak karena setiap tahun ada sekitar tiga juta angkatan kerja baru di Indonesia. Kondisi banyaknya angkatan kerja ini tidak bisa teratasi jika para pelaku usaha terhambat untuk berkembang dan investor angkat kaki ke Thailand atau lebih memilih negara lain seperti beberapa tahun terakhir.
Adanya UU Cipta Kerja, para investor lebih melirik Indonesia. Selain itu, karena pangsa pasar dalam negeri jumlahnya besar dan GDP yang mulai naik, memiliki bahan baku yang bisa dijelajahi menjadi mata rantai supply yang lebih baik.
Menurut dia, Pemerintah memberikan porsi tax holiday untuk investasi di atas satu triliun ke atas pada industri yang sifatnya hulu, termasuk membenahi regulasi terkait pertanahan. UU Cipta Kerja meskipun akan lebih membuat Indonesia lebih menarik bagi investor, UU Cipta Kerja tidak mengurangi hak pekerja secara fundamental.
“UU ini bobotnya berimbang bagi pekerja ataupun pelaku usaha. Bahkan di dalam Omnibus Law ini terdapat ancaman pidana bagi pengusaha yang tidak mematuhi aturan ketenagakerjaan,” kata dia.
Menurutnya, yang tidak diuntungkan dari pengesahan UU Cipta Kerja ada dua pihak. Pertama, hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari Kabupaten/Kota mungkin juga Provinsi. Kedua, adalah serikat pekerja. Sebab, setiap perusahaan boleh menunjuk serikat pekerjanya sendiri-sendiri.