Prancis Bungkam Media Pengkritik ‘Perang’ Macron VS Islamis?

Sejumlah media ditekan untuk menghentikan artikel kritik Macron

EPA-EFE/IAN LANGSDON
Sejumlah media ditekan untuk menghentikan artikel kritik Presiden Prancis Emmanual Macron
Rep: Umar Mukhtar Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Presiden Prancis Emmanuel Macron melipatgandakan dan menekan surat kabar di luar negeri serta para Muslim untuk menerima narasinya tentang sekularisme. 

Baca Juga


Pemerintah Prancis akan membuat para pengkritiknya percaya bahwa pernyataannya hanyalah kesalahpahaman yang serius. Atau, lebih buruk lagi, kampanye fitnah yang dipimpin pers Anglo-Amerika yang "melegitimasi" kekerasan di Prancis menyusul pembunuhan brutal terhadap Samuel Paty.

Kebingungan yang menyakitkan Presiden Prancis Emmanual Macron adalah Prancis sedang distigmatisasi yang diyakini sebagai rasis dan Islamofobia. Pada intinya, Macron dan banyak rekannya konon percaya bahwa gagasan Prancis tentang "universalisme" yang menetapkan bahwa di ruang publik itu tidak ada pembeda seperti ras, etnis, agama, jenis kelamin, budaya, atau jenis kelamin.

Di Prancis, orang-orang berkecil hati, dan beberapa orang akan tertekan. Namun kritik terhadap model sosial laicite Prancis, sebuah versi sekularisme kaku yang dipraktikkan di Prancis, percaya bahwa gagasan universalisme telah menjadi dogma yang menghalangi negara untuk menangani ketidakadilan sistemik yang bersinggungan dengan ras dan agama.  

Sementara di tempat-tempat seperti Inggris dan Amerika Serikat, tanda-tanda kesalehan yang terlihat dilindungi dan dilihat sebagai bagian dari permadani yang memperkuat negara secara keseluruhan, Prancis mengambil pendekatan sebaliknya. Ini melarang ekspresi keyakinan dari gedung-gedung publik dan dalam keadaan tertentu dari ruang publik. 

"Ada teori Prancis, universalisme, dan ada kenyataan," kata Yasser Louati, seorang aktivis hak asasi manusia Prancis yang memimpin LSM 'Committee for Justice & Liberties For All', dilansir di TRT World, Rabu (18/11). 

"Ya, Prancis mengkhotbahkan univeralisme tetapi kenyataannya jika Anda adalah orang kulit hitam atau Arab, Anda 20 kali lebih mungkin menghadapi profil rasial polisi. Jika Anda mengenakan jilbab, hal itu berdampak pada peluang Anda mendapatkan pekerjaan," kata Louati. 

Suara seperti Louati membuat gerakan tidak nyaman di Prancis. Bahwa minoritasnya menilai realitas Prancis melalui prisma yang berbeda dan berbicara kepada media internasional, atau lebih buruk lagi kepada pers berbahasa Inggris, mengundang kebencian.

"Keistimewaan Prancis menunjukkan keyakinan mendalam pada imajinasi Prancis bahwa negara ini sedang dalam misi untuk memberadabkan seluruh dunia. Maka jika Anda mengkritik Prancis, Anda mengkritik kemegahan Prancis," tambahnya.

Ada rasa "hak' yang hanya dipahami orang Prancis tetapi seluruh dunia tidak memahaminya. "Hanya orang Prancis kulit putih yang dapat mengkritik seluruh dunia, namun ketika orang memegang cermin ke Prancis, mereka jangan menerimanya," tutur Louati.

Keluhan Prancis dengan liputan yang berasal dari platform berita internasional telah mendorong Istana Elysee ke jalan perang. Paris terkejut bahwa model sekulernya telah menjadi sorotan di kalangan pers Angolo-Amerika, yang meyakini mereka berada di pihak yang sama dalam perang melawan "ekstremisme". Sekarang mereka terpaksa membujuk pers untuk menekan narasinya.

Pada 2 November, Financial Times (FT) menerbitkan artikel yang dibuat salah satu staf penulisnya, Mehreen Khan, yang notabene juga seorang Muslim. Pendapat umum dari artikel tersebut menyatakan bahwa perang Macron terhadap "separatisme Islam" tidak hanya memecah belah Prancis tetapi telah menciptakan kepanikan moral terhadap warga Muslimnya.

FT menghapus artikel tersebut setelah ditekan kantor Macron karena dianggap tidak akurat. Presiden Prancis, bagaimanapun, diizinkan untuk menanggapi artikel yang menyinggung tersebut dalam sebuah surat kepada surat kabar.

Situasi berbahaya itu membuat pembaca dibiarkan membaca kritik Macron terhadap artikel yang tidak lagi tersedia. Tapi Macron yang membungkam seorang penulis wanita Muslim tidak membantu untuk menjual pesan bahwa Prancis adalah aktor yang adil dalam hal menjunjung nilai-nilai seperti kebebasan berbicara.

Beberapa hari sebelum FT menarik opini tersebut, Politico, sebuah outlet media daring yang juga meliput Eropa, juga menarik artikelnya sendiri yang mengkritik Prancis beberapa hari setelah publikasinya.

Berjudul "Agama sekularisme Prancis yang berbahaya", dan ditulis dalam bahasa Inggris oleh sosiolog Prancis-Iran, Profesor Farhad Khosrokhavar, artikel yang ditugaskan Politico tidak memenuhi "standar editorial" menurut pemimpin redaksi. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Argumen Khosrokhavar bahwa "bentuk ekstrem Prancis dari sekularisme dan kepatuhannya pada penistaan" telah menyulut radikalisme di dalam minoritas Muslim yang terpinggirkan mungkin menjadi bacaan yang tidak nyaman, tetapi mengingat bahwa inti dari seluruh perdebatan adalah gagasan tentang "kebebasan berekspresi," menyensor artikel mungkin saja kontraproduktif.  

Dalam artikel lanjutan di platform lain, Khosrokhavar menyatakan bahwa kaum laicite Prancis telah mengambil langkah religius dan mereka yang mempertanyakannya menghadapi reaksi keras, seperti yang ditunjukkan  reaksi terhadap artikelnya.

Politico, mirip dengan FT, mengizinkan seorang pejabat pemerintah Prancis untuk menanggapi artikel yang menyinggung oleh Khosrokhavar tanpa membiarkan pembacanya memahami konteks lengkapnya.  

Menteri Pendidikan Prancis, Jean-Michel Blanquer, secara merendahkan menstigmatisasi akademisi seperti Khosrokhavar sebagai "Islam-kiri" yang menuduh mereka menyebarkan "radikalisme intelektual" dengan mengimpor ide-ide berbahaya Amerika seperti 'Teori Ras Kritis' yang bertujuan untuk mempelajari masyarakat dan budaya karena bersinggungan dengan kategorisasi ras, hukum, dan kekuasaan.

Seorang polisi Prancis berjaga-jaga di sebuah masjid di Prancis. (ilustrasi) - (EPA/Etienne Laurent)

Menggarisbawahi bahwa akademisi di Prancis tidak selalu melayani publik tetapi terkadang juga menjadi pengganti negara, lebih dari 100 akademisi mencantumkan nama mereka pada surat yang menyatakan bahwa mereka "setuju" dengan pengamatan dan peringatan menteri terhadap impor bahan berbahaya. Ideologi "Anglo-Saxon" di kampus-kampus Prancis.

Keengganan Prancis untuk membahas penderitaan minoritasnya melawan huru-hara protes anti-rasisme yang melanda Amerika Serikat dan Eropa selama musim panas, telah mengejutkan pengamat asing sebagai nada yang sangat tuli dan tidak sejalan dengan waktu.

Terlalu sering, Prancis seolah-olah ingin buta warna bukan sebagai sarana untuk mewujudkan kesetaraan, melainkan menepis perubahan wajah Prancis yang kian beraneka warna.

"Teori ras kritis tidak diterima karena gagasan universalisme Prancis sebenarnya menutup semua diskusi ini. Karena universalisme dipandang buta warna dan ras itu tidak ada," kata Louati. 

Untuk negara yang menjalankan salah satu perusahaan kolonial terbesar yang pernah ada di dunia, banyak yang mungkin dibikin buta sebagai cara lain untuk menutupi sejarah rasisnya di bawah karpet.

 

Sumber: https://www.trtworld.com/magazine/france-is-losing-its-battle-with-muslims-islam-and-now-the-west-41554 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler