Pentingnya Bermain 'Permainan Pura-Pura' dengan Anak
Permainan pura-pura atau 'role play' bermanfaat dalam proses tumbuh-kembang anak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang tua mungkin kerap mendapati anak mereka bermain sambil berpura-pura menjadi pedagang, koki, hingga pahlawan super. Selain menyenangkan, permainan pura-pura atau roleplay ternyata juga bermanfaat dalam proses tumbuh-kembang anak.
"Usia empat tahun ke atas, main jual-jualan, pasar-pasaran, kelihatannya sederhana," ujar Psikolog Anak Anastasia Satriyo MPSi Psi dalam Kampanye Ayo Main yang diinisiasi oleh IKEA Indonesia secara daring.
Meski terlihat sederhana, permainan pura-pura ternyata dapat membawa beragam manfaat bagi anak. Salah satunya, permainan pura-pura sangat membantu mengasah kreativitas dan imajinasi anak.
"Kalau kita ingin anak-anak jago problem solving, menyelesaikan masalah, itu mesti banyak main pretend play waktu kecilnya," jelas Anastasia.
Seperti diketahui, otak anak-anak belajar lewat bermain. Permainan pura-pura ini juga dapat menjadi salah satu bentuk "pelajaran" untuk mengasah kemampuan komunikasi anak.
Hal ini juga menjadi penting mengingat saat ini ada cukup banyak kasus anak terlambat bicara. Orang tua sebaiknya tidak hanya memberikan mainan-mainan untuk dimainkan oleh anak sendirian. Anak juga perlu terlibat dalam permainan yang mendorong dia untuk mengobrol sehingga "tabungan" kosa kata anak akan semakin kaya.
"Dan kalau (permainan pura-pura) dimainkan bersama orang tua, ini merupakan bonding time yang luar biasa sekali," tambah Anastasia.
Selain itu, di masa pandemi saat ini banyak anak yang masih menjalani kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kondisi ini akan membuat anak cenderung lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai selama belajar.
Di luar jam belajar, anak juga biasanya tetap ingin menggunakan gawai untuk bermain gim. Padahal anak-anak, terutama di bawah usia tujuh tahun, belajar lewat pendekatan sensori.
"Mereka belajar dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasa, mereka raba, sangat penting mainan-mainan yang bisa dilihat secara fisik," ungkap Anastasia.
Dalam kondisi seperti ini, orang tua dapat melakukan pendekatan yang tegas namun disampaikan secara empatik. Misalnya, orang tua terlebih dulu memvalidasi emosi anak yang ingin bermain gim lewat gawai. Setelah itu, orang tua juga memberikan pengertian mengenai alasan pentingnya membatasi waktu bermain dengan gawai.
"Misalnya, 'Mama dan papa tahu kamu ingin main'. Jadi kita validasi emosinya, atau reflective communication. Kemudian 'Tapi kalau dimainkan lebih dari dua jam, mata kamu bisa sakit'," papar Anastasia mencontohkan.