Proses Penghapusan Djoko Tjandra dari Sistem Cekal Terungkap
Divhubinter Polri pernah meminta Djoko Tjandra dihapus dari Enhanced Cekal System.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Kepala Subdirektorat Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM Sandi Andaryadi mengakui, adanya permintaan dari Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri terkait penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM). Hal tersebut diungkapkan Sandi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/11) dengan terdakwa Prasetijo Utomo.
Awalnya Jaksa Penuntut Umum, Wartono menanyakan kepada Sandi sejak kapan nama Djoko Tjandra yang masuk dalam ECS, yang merupakan sistem cekal terpusat yang terhubung secara online ke tempat pemeriksaan Imigrasi di daerah.
"Seingat kami, KPK pernah mengajukan pencegahan terhadap nama Joko Soegiarto Tjandra. Kalau tidak salah di tahun 2009 kemudian dari Kejagung pernah juga mengajukan pencegahan kalau tidak salah di 2012. Namun pencegahan itu kan terbatas, ada jangka waktunya. Sehingga ketika itu sudah terpenuhi, maka akan terhapus dari sistem," jawab Sandi.
"Di BAP Anda mengatakan pada 24 April 2008 soal permintaan KPK, di 2012, permintaan Kejagung. itu sampai kapan batasnya?" tanya Jaksa lagi.
"Dalam UU, kami diatur masa jangka waktu pencegahan adalah berlaku 6 bulan, dan dapat diperpanjang maksimal selama 6 bulan. jadi total 1 tahun. Dalam jangka waktu 1 tahun terdaftar sistem ECS. Namun ketika itu sudah terlewati otomatis akan hilang dari sistem," terang Sandi.
Jaksa kemudian menanyakan ihwal surat permintaan pada Mei 2020 dari Divhubinter Polri kepada Imigrasi. "Ada dua surat, siapa yang tanda tangan dan jelaskan isi masing surat apa?" tanya Jaksa.
Sandi lalu menerangkan, pada kurun waktu Mei 2020 pihaknya menerima surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020 dan surat nomor: B/1036/V/2020/NCB-Div HI tanggal 05 Mei 2020. Keduanya ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo.
"Kedua surat tersebut berasal dari Divhubinter dan ditandatangani oleh Ses NCB Indonesia atas nama Brigjen Slamet Wibowo, kalau tidak salah. Dua-duanya ditandatangani oleh pejabat yang sama," terang Sandi.
"Kemudian surat tanggal 4 Mei berisi perihal mengenai pembaharuan data yang sedang dilakukan NCB Interpol 1996-2020, dan penegasan kembali bawa NCB berwenang menerbitkan red notice, bukan DPO," lanjutnya.
"Apakah permbaharuan data Interpol terang red notice harus kordinasi Imigrasi?" tanya Jaksa
"Kami tidak tahu. Kami rasa iya karena mungkin ada beberapa nama subjek yang dimintakan Divhubinter selama ini," jawabnya.
Sandi lalu melanjutkan perihal isi surat tanggal 5 Mei yakni mengenai penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar red notice Interpol sejak 2014.
"Di surat (tanggal 5) itu diinformasikan bahwa red notice nomor A sekian tahun 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra sudah terhapus dari sistem basis data Interpol," tutur dia.
Sandi menerangkan, kedua surat tersebut merupakan inisiasi dari divisi yang dipimpin oleh Irjen Napoleon Bonaparte. Menanggapi hal itu dari pihak Imigrasi, lanjut Sandi, berdiskusi dan menyepakati untuk menghapus nama Djoko Tjandra dalam ECS yang sudah dimasukkan sejak 2015.
"Karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan nama Djoko Tjandra itu merujuk pada red notice, yang kemudian pada surat tanggal 5 disebutkan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terhapuskan dalam sistem, sehingga tidak ada rujukan atau dasar untuk menempatkan nama dalam sistem kami," terang Sandi.
Dalam perkara ini, mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas Penyidik PNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dollar AS atau setara Rp 2 miliar. Penerimaan suap tersebut dilakukan untuk menghapus nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri.
In Picture: Mantan Pejabat Interpol Bersaksi di Sidang Kasus Red Notice
Pada hari ini, Mantan Kadiv Humas Polri, Komjen (Purn) Setyo Wasisto juga menjadi saksi di persidangan. Dalam kesaksiannya, Setyo mengungkapkan, Polri memang pernah mengingatkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM maupun Kejagung terkait kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia, karena, pada 2015 ada kabar orang tua Djoko Tjandra meninggal dunia.
"Saya menyurat ke Ditjen Imigrasi tanggal 12 Februari 2015. Alasan saya membuat surat karena mendapat laporan dari anggota, orang tua dari Djoko Tjandra meninggal dan disemayamkan di rumah duka di Jakarta. Kami mebyurat berdasar referensi red notice," ungkap Setyo.
"Kami menjelaskan bahwa Djoko Tjandra adalah buronan DPO Kejagung. Kami juga mencantumkan ada dua identitas, karena kami mendapat ada adendum dari red notice, adanya identitas baru dari, nomor paspor dari negara Papua Nugini," sambungnya.
Setyo mengaku tidak mendapat surat balasan dari Imigrasi saat itu. Kendati demikian, saat itu ada tim yang berjaga di tempat prediksi Djoko Tjandra akan datang.
"Bagaimana respons Imigrasi?" tanya Jaksa Wartono.
"Tidak ada surat balasan, tetapi kami langsung bergerak. Ada tim Interpol, Bareskrim, Jejagung dan Imigrasi. Kami ingat betul mendapat laporan pelaksanaan tugas kegiatan tersebut, baik di rumah duka, pemakaman, maupun di Bandara Halim. Ternyata nihil tidak diketemukan," jawab Setyo.
Setyo pun mengaku tidak mengetahui apakah nama Djoko Tjandra masuk ke dalam sistem pencekalan Imigrasi atau tidak. Karena sifat NCB Interpol hanya mengingatkan, adanya prediksi DPO akan masuk ke Indonesia.
"Tetapi harapan kami mengingatkan, karena ada potensi Djoko Tjandra masuk ke Indonesia. Karena orang tuanya meninggal," ujarnya.
Dalam perkara ini, mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas Penyidik PNS Polri, Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dolar AS atau setara Rp 2 miliar. Penerimaan suap tersebut dilakukan untuk menghapus nama terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra dalam red notice Interpol Polri.
Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.