Sektor Usaha Tertekan, Realisasi Pajak Kontraksi 18,8 Persen
Tekanan terutama terjadi pada jenis penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) sektor migas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober mengalami kontraksi 18,8 persen dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp 826,9 triliun. Terbatasnya aktivitas perekonomian pada berbagai sektor menyebabkan setoran pajak ke kas negara menurun signifikan.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kontraksi tersebut juga menegaskan dukungan pemerintah kepada dunia usaha melalui insentif. "Ini gambarkan, insentif yang kita berikan sudah mulai digunakan dan restitusi dari PPN dipercepat juga mulai dinikmati perusahaan," katanya dalam konferensi pers kinerja APBN secara virtual, Senin (23/11).
Percepatan restitusi yang tinggi menjadi salah satu faktor pertumbuhan pajak secara neto masih tertekan. Tercatat, layanan ini meningkat 30,82 persen dan 32,77 persen pada September dan Oktober.
Tekanan terutama terjadi pada jenis penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) sektor migas yang mengalami kontraksi 46,46 persen menjadi Rp 26,37 triliun. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang masih berada di level 39 dolar AS per barel juga mendorong penurunan tersebut.
Kontraksi juga terlihat dari penerimaan per jenis pajak. Di antaranya PPh 22 impor yang menurun 78,26 persen pada Oktober, lebih dalam dibandingkan kuartal kedua dan ketiga yang masing-masing tumbuh negatif 69,16 persen dan minus 48,50 persen. "Karena kegiatan impor mengalami penurunan di hampir semua jenis komoditas," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Begitupun dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri yang tumbuh negatif 20,34 persen pada bulan lalu. Kontraksi ini lebih dalam dibandingkan 11,82 persen pada kuartal ketiga dan minus 19,08 persen pada kuartal kedua. Tekanan pada Oktober dikarenakan adanya pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Oktober.
Penurunan yang signifikan juga terlihat pada PPh Badan dengan kontraksi hingga 74,23 persen pada bulan lalu. Sebelumnya, pada kuartal ketiga, jenis pajak ini sudah menyusut 50,99 persen dan minus 29 persen di kuartal kedua. Kontraksi ini dipengaruhi oleh pemanfaatan insentif fiskal kepada perusahaan yang terdampak pandemi.
Beberapa jenis pajak menunjukkan sedikit perbaikan seperti PPh 21 untuk karyawan. Meski masih tumbuh minus 5,47 persen, kontraksinya lebih baik dibandingkan realisasi kuartal kedua dan ketiga yang masing-masing menyusut 8,35 persen dan 9,38 persen.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, pihaknya terus memperluas basis pemajakan untuk menekan dampak negatif pandemi terhadap penerimaan pajak hingga akhir tahun.
Ia menyebutkan, ada dua upaya yang dilakukan, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi termasuk perluasan basis pajak, termasuk menambah perusahaan pemungut PPN transaksi digital. "Semakin hari, semakin bertambah jumlah pemungutnya," kata Suryo, dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, Suryo menambahkan, pihaknya terus melakukan pengawasan teritorial yakni terhadap Wajib Pajak (WP) yang belum memiliki NPWP. Pengawasan dilakukan dengan pendekatan wilayah. Hanya saja, upaya tersebut terkendala saat ini karena pandemi Covid-19 membatasi aktivitas tatap muka.
Dari sisi intensifikasi, Kemenkeu memastikan pengawasan terhadap pembayaran masa WP yang dikelola di tiap kantor pelayanan pajak sekaligus mengawasi pemanfaatan insentif perpajakan. Extra effort dari pengawasan WP hingga memberikan imbauan juga tetap dilaksanakan. "Semua dilakukan agar betul-betul direalisasikan sampai akhir Desember 2020," ujar Suryo.