PHK 6.000 Staf, Maskapai Qantas akan Beralih ke Outsourcing

Maskapai Qantas akan melakukan outsourcing untuk 2.000 staf lapangan.

EPA-EFE/CHARLIE BLISS
Sebuah pesawat Qantas yang membawa warga Australia yang direpatriasi mendarat di Bandara Darwin di Darwin, Australia, 23 Oktober 2020. Penerbangan charter Qantas ditetapkan untuk memulangkan warga Australia yang terdampar di Inggris Raya dan India dengan fasilitas Howard Springs Teritorial Utara yang akan digunakan untuk karantina hotel.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Maskapai Qantas akan melakukan outsourcing untuk 2.000 staf lapangan. Hal ini dilakukan untuk membatasi kerugian finansial akibat pandemi.

Pemutusan hubungan kerja tersebut melebihi 6.000 pekerjaan yang telah diumumkan oleh maskapai penerbangan Australia awal tahun ini.

Qantas mengumumkan kerugian 2 miliar dolar AS pada Agustus karena Covid-19 dan pembatasan perbatasan. "Covid telah menjungkirbalikkan penerbangan,” kata Andrew David, kepala eksekutif domestik dan internasional maskapai.

"Maskapai penerbangan di seluruh dunia harus membuat keputusan dramatis untuk bertahan hidup dan kerusakan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diperbaiki," kata dia, dilansir di BBC, Senin (30/11).

Qantas berharap dapat menghemat sekitar 74 juta dolar AS setiap tahun dengan beralih ke penyedia pihak ketiga alih-alih menangani layanan daratnya sendiri.

Maskapai juga berharap dapat menghemat 59 juta dolar AS selama lima tahun dengan menghindari pengeluaran baru untuk peralatan penanganan darat seperti kapal tunda pesawat dan pemuat bagasi.

Karyawan yang terkena dampak akan berhak atas paket redundansi dan diberikan dukungan untuk transisi ke pekerjaan baru.

Ada kabar baik untuk pemulihan maskapai. Rute domestik mulai pulih seiring pemerintah negara bagian mencabut pembatasan perjalanan antarnegara bagian.

Tapi Qantas masih memprediksi masa-masa suram di depan. Maskapai tidak berharap untuk terbang secara internasional sampai akhir tahun 2021, dengan pengecualian potensi gelembung perjalanan dengan Selandia Baru.

Maskapai ini juga mengambil tambahan utang 1,1 miliar dolar AS untuk tetap beroperasi.

Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan maskapai penerbangan secara global akan kehilangan 157 miliar dolar AS tahun ini dan tahun depan. Jumlah penumpang diperkirakan turun menjadi 1,8 miliar tahun ini dari 4,5 miliar pada 2019.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler