Jokowi Tagih Kejaksaan Soal Penuntasan Pelanggaran HAM Berat
Jokowi meminta kerja sama Kejaksaan dengan Komnas HAM diefektifkan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menagih Kejaksaan RI terkait kemajuan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Jokowi mengingatkan, Kejaksaan RI adalah aktor kunci pengusutan pelanggaran HAM.
"Kemajuan kongkret dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu segera terlihat. Kerja sama dengan pihak-pihak terkait terutama dengan Komnas HAM perlu untuk diefektifkan. Antisipasi terhadap tantangan masa depan juga harus terus ditingkatkan," ujar Presiden Jokowi dalam sambutan pembukaan Rapat Kerja Kejaksaan RI tahun 2020, Senin (14/12).
Jokowi juga mengingatkan Kejaksaan RI untuk mengasah kemampuan deteksi dini terhadap berbagai kemungkinan tindak kejahatan di masa depan. Kejaksaan, ujarnya, harus menjadi bagian untuk mencegah dan menangkal kejahatan terhadap keamanan negara, seperti terorisme, pencucian uang, dan perdagangan orang.
"Serta kejahatan lain yang berdampak pada perekonomian negara," kata Jokowi.
Berdasarkan arsip pemberitaan Republika.co.id, Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat menjelaskan hambatan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR awal tahun ini. Burhanuddin menyebut salah satu hambatan adalah belum adanya pengadilan HAM ad hoc.
"Untuk peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu sampai saat ini belum ada pengadilan HAM ad hoc. Sedangkan mekanisme dibentuknya atas usul DPR RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden," kata ST Burhanuddin saat itu.
Jaksa Agung menjelaskan, penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala kecukupan terkait kecukupan alat bukti. Menurutnya, berdasarkan hasil Komnas HAM belum dapat menggambarkan atau menjanjikan minimal dua alat bukti yang dibutuhkan kejaksaan.
Burhanuddin juga menjelaskan secara umum penyebab bolak-balik dan penanganan HAM berat adalah tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM. "Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," ujarnya.
Menurutnya, sulitnya memperoleh alat bukti dan belum adanya mekanisme penghentian penyidikan dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 sebagai upaya penyelesaian dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat secara yuridis, dalam hal ini penyelidikan disimpulkan tidak cukup bukti.
Dia mengatakan, penyelesaian kasus HAM berat dapat dilakukan melalui dua opsi yaitu penyelesaian yudisial melalui pengadilan HAM ad hoc dan penyelesaian non-yudisial melalui kompensasi rehabilitasi.
Dalam kesempatan tersebut, Jaksa Agung menjelaskan perkembangan perkara HAM berat, misalnya peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Lalu peristiwa dukun santet ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998 dan 1999, peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, peristiwa Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003, para pelaku telah disidangkan di pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap namun untuk kasus HAM berat penyelidik belum memeriksa dugaan pelakunya," katanya.
Dalam peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, menurut dia, alat bukti dan barang bukti dugaan pelaku belum terungkap.