Peran Fintech Dorong Indeks Inklusi di Indonesia
Indonesia membutuhkan transformasi digital ekonomi melalui fintech.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam strategi nasional keuangan inklusif 2020 - 2024 yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Desember lalu, menargetkan indeks inklusi Indonesia meningkat sebesar 90 persen pada 2024. Dalam merealisasikannya, teknologi finansial peer to peer lending atau fintech pendanaan memiliki peran sebagai penggerak utama untuk mempercepat transformasi ekonomi digital khususnya sektor UMKM.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan Indonesia membutuhkan transformasi digital ekonomi melalui fintech untuk memulihkan ekonomi nasional.
“Fokus inklusi keuangan bukan pada gerakan menabung, namun pada pemberian permodalan kepada sektor UMK informal dan cara tercepat dengan mendigitalisasi mereka. Adanya transformasi digital, besarnya potensi digital Indonesia pada 2025 kita bisa mencapai 133 miliar dolar AS,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (15/12).
Dari 64,19 juta UMK, 64,13 juta merupakan UMK yang sebagian besar berada sektor informal, salah satu motor utama untuk mempercepat transformasi digital melalui dukung oleh fintech pendanaan, yang memiliki kelebihan pada inovasi dan kecepatan dalam menjangkau pelaku UMK Informal. Adapun fintech pendanaan menjadi strategi untuk memperluas dan mempercepat inklusi dan digitalisasi keuangan.
Sementara Senior Ekonom INDEF, Aviliani, menambahkan, saat ini fintech berarti bagi ekonomi Indonesia karena inklusi finansial tanpa adanya fintech tidak akan mungkin terjadi, justru dengan adanya fintech itulah pertama kali UMKM banyak tersentuh di dalam satu peminjaman, khususnya fintech pendanaan.
“Sekarang banyak sekali UMKM formal dan informal yang dapat pinjaman dari fintech pendanaan,” ucapnya.
Pada perkembangannya, fintech pendanaan telah menyalurkan Rp 137,66 triliun kepada masyarakat dan sudah memiliki 40 juta pengguna di seluruh Indonesia yang sebagian besarnya pelaku UMKM.
Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech OJK, Munawar Kasan, menyatakan pada 2021, tantangannya bagi industri fintech pendanaan mengenai pembangunan pangsa pasar dalam ekosistem sangat besar dan menjadi kunci kesuksesan dan kesinambungan bisnis.
"Selain itu platform juga diharapkan dapat memberikan nilai tambah dengan tidak hanya memberikan pinjaman, tetapi turut mengatasi persoalan peminjam dan mengembangkan bisnis peminjam,” ucapnya.
Amartha sebagai pionir fintech pendanaan yang berfokus pada pemberdayaan perempuan di desa, berupaya untuk meningkatkan inklusi keuangan digital melalui penciptaan produk yang sesuai dengan kebutuhan sektor UMKM informal dengan menerapkan framework strategi inklusi keuangan yang terdiri dari tiga pilar, antara lain pertama menciptakan produk keuangan yang sederhana dan mudah dimengerti oleh mereka.
Kedua mengurangi biaya transaksi dengan menghadirkan layanan keuangan digital di tempat tinggal pengguna, termasuk dengan cara difasilitasi agen di lapangan misalnya. Ketiga, mengurangi barrier of access yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor geografis tetapi juga faktor pengetahuan dan infrastruktur digital.
Chief Risk and Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto, menambahkan literasi keuangan dan literasi digital harus berjalan beriringan. Tak bisa satu dilepaskan dari yang lain karena merupakan kesempatan untuk memodernisasi UMKM agar bisa lebih kompetitif, efisien, dan juga memiliki kapasitas yang lebih besar untuk bisa naik kelas.
"Saat ini Amartha sedang mempersiapkan produk keuangan investasi dan asuransi dan lain sebagainya bagi UMKM,” ucapnya.