Bank Dunia: Ekonomi Indonesia Memulih, Namun tidak Merata
Kontraksi ekonomi Indonesia mengecil dari minus 5,3 persen menjadi minus 3,5 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Dunia menilai, ekonomi Indonesia perlahan mulai memulih setelah sebagian aktivitas ekonomi domestik dan global dibuka kembali. Tapi, laju pemulihan tidak merata di berbagai sektor, terutama sektor dengan intensitas kontak yang tinggi.
Plt Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Ralph van Doorn menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dengan kontraksi yang mengecil dari minus 5,3 persen pada kuartal kedua (yoy) menjadi minus 3,5 persen pada kuartal ketiga (yoy).
Pemulihan terutama diakibatkan perbaikan konsumsi secara parsial. "Termasuk peningkatan belanja publik yang signifikan, investasi, dan net ekspor," tuturnya dalam Launching Virtual IEP December 2020, Kamis (17/12).
Namun, Bank Dunia mencatat, laju pemulihan tidak merata. Pekerjaan yang sulit dilakukan dengan jarak jauh dan mengandalkan interaksi langsung dengan pelanggan, seperti konstruksi dan manufaktur, mengalami dampak sangat keras. Baru sebagian kecil di antara mereka yang menunjukkan pemulihan.
Sementara itu, sektor-sektor yang lebih sedikit intensitas kontaknya, seperti keuangan, pendidikan, telekomunikasi, dan informasi lebih mampu bertahan. Sektor-sektor yang terekspose dengan permintaan asing, seperti manufaktur dan pertambangan, sedikit terbantu oleh pemulihan perdagangan global dan peningkatan sebagian harga komoditas dari tingkat terendahnya pada pertengahan 2020.
Bank Dunia menilai, respons kebijakan moneter terhadap krisis sudah kuat, namun memiliki risiko keuangan makro yang perlu dikelola. Misalnya, pembelian obligasi BI untuk membantu pemerintah menjaga stabilitas keuangan di tengah arus keluar modal pada Maret dan berkontribusi menurunkan suku bunga obligasi rupiah pemerintah jangka panjang.
Program ini memiliki konsekuensi secara makrofinansial dan dapat meningkatkan kekhawatiran mengenai kredibilitas efektivitas kebijakan moneter. "Khususnya, jika tidak dibatasi waktunya, tidak disesuaikan dengan kondisi yang ada, dan tidak dikomunikasikan dengan baik," ujar Doorn.
Bank Dunia juga menilai, respons fiskal untuk menyelamatkan nyawa dan pekerjaan serta menstimulasi pemulihan sudah sangat nyata. Hanya saja, pemerintah harus memperhatikan utang publik yang meningkat.
Dalam IEP Desember 2020, Bank Dunia memproyeksikan, utang publik pemerintah akan berada di level 40,9 persen dan 43,0 persen terhadap PDB pada 2021 dan 2022. Pada tahun ini saja, utang publik diperkirakan mencapai 37,5 persen, naik signifikan dibandingkan tahun lalu yang masih 30,2 persen dari PDB.
Bank Dunia menilai, jumlah tersebut dapat terus meningkat tanpa adanya reformasi. "Karena itu, dibutuhkan strategi untuk menjaga dukungan fiskal untuk pemulihan sementara juga mencapai tujuan jangka menengah," ucap Doorn.