Beda Perlakuan Perjodohan untuk Perempuan Gadis dan Janda

Menurut Islam beda perlakuan antara perjodohan gadis dan janda

ANTARA/Kahfie kamaru
Menurut Islam beda perlakuan antara perjodohan gadis dan janda. Ilustrasi pernikahan
Rep: Meiliza Laveda Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perjodohan masih kerap dilakukan saat ini, terutama di kalangan perempuan. Jika perempuan sudah memasuki usia tertentu yang seharusnya sudah menikah, orang tua atau wali mereka akan menjodohkan dengan calon suami yang dianggap tepat. Namun, apakah perlu meminta izin kepada perempuan sebelum ia dinikahkan?

Baca Juga


Terkait siapa yang menentukan calon suaminya kelak, perempuan berhak atas dirinya. Ini tercantum dalam riwayat hadits, dari Abdullah bin Abbas RA berkata, Rasulullah bersabda: 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ، وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا

 “Perempuan yang telah janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izin dari dirinya dan izinnya ialah diamnya.” (HR Tirmidzi, Ahmad, Muslim).

Dijelaskan dalam buku Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan oleh Hamka, hadits tersebut sangat jelas menerangkan perempuan berhak atas dirinya. Bahkan janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sendiri. Tentu saja, mereka akan memilih pendamping yang sesuai, kufu, dan sama-sama berada di jalan yang benar. 

Namun, apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, misal, dipilih jodoh seorang pezina atau orang kafir, para wali dapat menghalangi. Hal tersebut bukan merampas kebebasannya melainkan membatasi jika kebebasan tersebut disalahgunakan.

Di dalam hadits tersebut juga disebutkan anak gadis perawan, jika dia diam ketika ditanyai merupakan tanda bahwa dia telah memberi izin. Hal ini dikarenakan, kala itu, anak perawan masih malu. Jika mereka mengatakan “saya suka” adalah aib baginya.

Apabila ada yang dipaksa nikah oleh wali, Rasulullah SAW ikut andil untuk membatalkannya. Misal, seorang janda, Khansa binti Khidam yang dipaksa nikah oleh ayahnya, dia mengadu kepada Rasulullah. Nikahnya pun dibatalkan Nabi.

Bagi anak perempuan yang yatim, jika dia akan dinikahkan, hendaknya juga dimintai izin kepada dirinya. Rasulullah SAW bersabda: تُستأمَرُ اليتيمةُ في نفسِها “Perempuan yatim diminta izin dari dirinya.” (HR Ahmad).

Ada beberapa perbedaan dari ulama-ulama fiqh tentang hal kecil ini, tetapi pada pokoknya tidak banyak selisih. Bahkan Imam Abu Hanifah berpendapat, perempuan janda lebih berhak atas dirinya dan itu dikuatkan lagi dari hadits: 

ليس للولي مع الثيب أمر، واليتيمة تستأمر، وصمتها إقرارها “Tidak ada kekuasaan wali atas perempuan janda dan gadis yatim. Jika hendak dinikahkan, hendaklah seizinnya. Dan, diam adalah tanda dia suka.” (HR Abu Dawud).

Menurut Abu Hanifah, dinikahkan wali tidak menjadi syarat mutlak. Asalkan ada cukup saksi, diketahui oleh orang banyak, dan tidak sembunyi-sembunyi. Jadi, tidak ada salahnya perempuan janda menikahkan dirinya dengan seorang laki-laki yang dia sukai. Namun yang perlu dicatat, Abu Hanifah tidak bermaksud untuk menghapuskan wali sama sekali.

Di dalam kitab-kitab fiqih, dia mengakui kepentingan wali dan siapa yang menjadi wali. Dia mengatakan dzawil arham pun adalah wali. Jika wali tidak ada atau di dalam keadaan tidak dapat melakukan tugas, kekuasaan wali berpindah kepada sultan. Sebab, sultan atau penguasa yang menjadi wali bagi siapa saja yang tidak ada walinya.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler