Mengulik Temuan Drone Laut, Riset atau Spionase?

Pengamat nilai sulit tentukan drone laut bukan kesengajaan.

M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono (tengah) didampingi Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal) Laksamana Muda TNI Agung Prasetiawan (kanan), dan Asintel KSAL Laksamana Muda TNI, Angkasa Dipua (kiri) menjelaskan tentang penemuan alat berupa
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Temuan drone bawah laut atau unmanned underwater vehicle (UUV) di perairan Selayar, Sulawesi Selatan, menimbulkan tanda tanya. Apakah UUV berupa SeaGlider itu adalah upaya mata-mata negara asing terhadap Indonesia atau sekadar demi kebutuhan riset perairan saja.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengatakan SeaGlider bisa digunakan untuk pengumpulan data oseanografi secara otonom dan mendukung riset di bawah permukaan laut. "Alat ini adalah SeaGlider untuk pengamatan vertical profiling (profil vertikal) data oseanografi secara autonomous (otonom)," kata Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa (TIRBR) BPPT Wahyu W Pandoe, Selasa (5/1).

Data-data di bawah permukaan laut yang dikumpulkan antara lain berupa kedalaman, suhu, dan arus. SeaGlider dengan panjang 2,25 meter dan memiliki dua sayap yang masing-masing berukuran 0,5 meter ditemukan di perairan Desa Majapahit, Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan pada 26 Desember 2020 pukul 07.00 WITA. Benda tersebut ditemukan dalam kondisi mengapung di permukaan laut.

Dari foto-foto penemuan SeaGlider tersebut, Wahyu menuturkan payload SeaGlider hanya berupa sensor-sensor oseanografi dan akustik, seperti sensor CTD, chlorophyl fluorometer, dan acoustic doppler current profiler(ADCP). "Mungkin setelah dibongkar bisa kita identifikasi sensor apa saja yang terpasang," ujarnya.

Parameter yang diukur oleh peralatan CTD terutama profil vertikal untuk salinitas, temperatur, densitas, dan kandungan oksigen (jika sensor oksigen terpasang). Sedangkan alat ADCP mengukur arus 3D (u, v, w).

Untuk penelitian, data-data tersebut sangat diperlukan untuk memantau perubahan parameter salinitas, suhu dan densitas secara vertikal dan horizontal. Data itu berkaitan dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang terkait dengan predecessorperubahan iklim, daerah penangkapan ikan, iklim maritim, termasuk prediksi penguatan musim El-Nino dan La-Nina. Dan La Nina sedang terjadi saat ini.

Untuk sistem pertahanan, Wahyu mengatakan adanya layer thermocline (perubahan temperatur yang ekstrem terhadap kedalaman) di lapisan antara permukaan hingga 200-an meter sangat membantu pergerakan kapal selam di bawah thermocline, atau dikenal dengan istilah shadow zone.

Adanya layer thermocline dapat menjadi bidang pantul gelombang akustik yang dipancarkan dari kapal permukaan, sehingga pergerakan kapal selam di bawah lapisan thermocline sulit terdeteksi. Thermocline tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan energi laut OTEC (ocean thermal energy conversion) atau konversi energi termal lautan sebagai sumber energi baru terbarukan dari laut di masa depan.

Wahyu menuturkan ada dua jenis yaitu SeaGlider dan Argo Float. Kedua jenis itu tidak mempunyai propulsi, dan bekerja sinking-floating (tenggelam-mengambangnya) hanya berdasarkan buoyancy (kemampuan mengapung).

Secara praktis, Argo Float tidak bergeser terlalu jauh dari peletakan awal (initial deployment), kecuali kalau terseret arus. SeaGlider juga demikian, tetapi dengan flap-nya bisa "riding" arus lebih efektif, dan bisa diarahkan dengan mengatur sudut kemiringan dari flapnya (kiri dan kanan).

Wahyu menuturkan pada waktu lalu, mitra kerja sama penelitian Perancis juga pernah melaporkan Argo Float yang masuk ke Selat Makassar. Umumnya SeaGlider tidak punya propulsi dan bekerja sinking-floating hanya berdasarkan buoyancy yang bisa diatur motor and reciprocating hydraulic pump.

"Versi terkini ada juga yang menggunakan propulsi agar lebih efisien dalam mengarahkan gerakan glider ini," tuturnya.

Alat tersebut sudah dikembangkan di negara-negara maju sejak awal tahun 2000-an, dan saat ini sudah banyak yang ikut mengembangkan peralatan itu. Termasuk China.

Hingga saat ini belum ada pengumuman resmi dari pemerintah mengenai dari mana UUV bawah laut itu berasal. Spekulasi bermunculan hingga mendorong pemerintah agar waspada terhadap aksi mata-mata.

Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai sulit menyatakan penggunaan SeaGlider bukan sesuatu yang disengaja bahkan direncanakan. Dia melihat, perangkat tersebut digunakan untuk tujuan yang buruk.

"Sulit untuk mengatakan bahwa penggunaan 'seaglider' itu bukan sesuatu yang disengaja bahkan direncanakan," ujar Fahmi lewat pesan singkat, Selasa (5/1).

Dia mengatakan, lokasi penemuan perangkat tersebut berada di kawasan perairan teritorial Indonesia. Sementara Indonesia sudah memastikan tidak memiliki perangkat tersebut.

"Siapapun pemiliknya, menurut saya perangkat tersebut telah digunakan untuk tujuan-tujuan yang buruk, berpotensi merugikan kepentingan nasional dan mengancam kedaulatan kita," kata dia.

Fahmi mengatakan, berbagai pihak menyatakan perangkat yang ditemukan itu sangat mirip dengan yang dimiliki China. Menurut dia, sebetulnya hal tersebut merupakan sesuatu sesuatu yang harus didalami dan diklarifikasi terlebih dahulu.

Pengungkapan pemilik dan pengguna alat itu harus jadi prioritas pihak yang menyelidikinya. Jika negara atau pihak penggunanya sudah diketahui, maka langkah yang ia sebut harus ditempuh pemerintah ialah menggunakan saluran diplomatik.

"Untuk menyampaikan protes dan peringatan keras. Termasuk mengkaji kemungkinan adanya langkah hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat," jelas dia.

Kemudian, pemerintah dan DPR juga harus segera mendiskusikan langkah yang harus diambil untuk meningkatkan kemampuan dalam upaya menutup celah rawan itu. Peningkatan kemampuan yang perlu dilakukan itu mulai dari aspek regulasi hingga kebutuhan perangkat deteksi dan penangkalannya.

"Karena harus diakui, keamanan laut kita masih menyisakan banyak celah rawan, baik di perbatasan maupun di perairan teritorial," kata dia.

Fahmi mengatakan, hal itu ditengarai bukan hanya karena persoalan keterbatasan alat utama sistem persenjataan (alutsista) saja, tapi juga karena praktik-praktik buruk dalam pengelolaan keamanan laut belum sepenuhnya hilang.

"Termasuk ego sektoral dan masih belum tuntasnya persoalan tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan keamanan laut," ungkap dia.

Baca Juga






Menurut pengamat politik dan Hankam dari Universitas Muhammadiyah, Arqam Azikin, pascatemuan drone bawah laut, penting untuk segera menyelidiki cepat sandi pesan dalam rangkaian perangkat. "Apabila tidak ada cap milik TNI di benda tersebut, berarti benda itu dipastikan punya lembaga dari luar negara kita, dan diperlukan kerja cepat menyelidiki isi sandi pesan apa yang di dalam rangkaian alatnya," kata Arqam.

Dia mengatakan, sudah sangat tepat Panglima TNI langsung memerintahkan jajarannya membawa alat mirip rudal tersebut dibawa ke Mabes TNI untuk meneliti benda tersebut lebih lanjut. Mengenai dugaan benda itu milik China atau Amerika Serikat (AS), Arqam mengatakan, di situlah perlu penyelidikan TNI secara tepat dalam mengklarifikasi data-data awal yang ada pada benda itu.

Pasalnya, AS mempunyai pemantau satelit di wilayah Timur Indonesia serta China memiliki kepentingan pada gejolak di laut China Selatan dengan AS. "Benda milik lembaga dari luar negara kita, mesti diselidiki secara mendalam dengan beberapa pertanyaan, mengapa bisa masuk ke perairan Selayar" layout="responsive" width="480" height="270">r">





Menurut pengamat politik dan Hankam dari Universitas Muhammadiyah, Arqam Azikin, pascatemuan drone bawah laut, penting untuk segera menyelidiki cepat sandi pesan dalam rangkaian perangkat. "Apabila tidak ada cap milik TNI di benda tersebut, berarti benda itu dipastikan punya lembaga dari luar negara kita, dan diperlukan kerja cepat menyelidiki isi sandi pesan apa yang di dalam rangkaian alatnya," kata Arqam.

Dia mengatakan, sudah sangat tepat Panglima TNI langsung memerintahkan jajarannya membawa alat mirip rudal tersebut dibawa ke Mabes TNI untuk meneliti benda tersebut lebih lanjut. Mengenai dugaan benda itu milik China atau Amerika Serikat (AS), Arqam mengatakan, di situlah perlu penyelidikan TNI secara tepat dalam mengklarifikasi data-data awal yang ada pada benda itu.

Pasalnya, AS mempunyai pemantau satelit di wilayah Timur Indonesia serta China memiliki kepentingan pada gejolak di laut China Selatan dengan AS. "Benda milik lembaga dari luar negara kita, mesti diselidiki secara mendalam dengan beberapa pertanyaan, mengapa bisa masuk ke perairan Selayar? Apakah pernah terdeteksi oleh radar AL?" katanya.

Dia mengatakan, apabila tidak terdeteksi radar keamanan wilayah laut Indonesia, berarti sudah menunjukkan kerawanan dan bahaya bagi penyusupan mata-mata dengan memakai drone laut memasuki perairan Indonesia. Dari temuan drone tersebut yang sudah disebut bukan milik TNI AL maka patut dicurigai ada penyusupan operasi pengintaian di sekitar perairan wilayah Indonesia, untuk melakukan perekaman situasi, sumber daya alam, dan posisi kekuatan penjagaan yang intens dilakukan TNI AL.

"Ini sudah kejadian ketiga kalinya ditemukan di wilayah perairan kita, maka segenap pasukan elit AL agar meningkatkan kewaspadaan dalam menangkal ancaman pertahanan negara di lokasi strategis yang rawan operasi pengintaian di wilayah Laut dari pihak manapun," ujarnya.

Jadi sudah sepatutnya Menteri Pertahanan Prabowo Subianto segera ke Komisi I DPR RI menjelaskan agar polemik drone laut tidak menyebar di masyarakat dengan persepsi berbeda-beda.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana TNI Yudo Margono, menargetkan waktu satu bulan dari sekarang untuk mengungkap kejelasan drone tersebut. Pengungkapan lebih lanjut akan dilakukan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL (Pushidrosal).

"Bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, saya beri waktu satu bulan Pak Kapushidros untuk bisa menentukan atau membuka hasilnya biar ada kepastian," ujar Yudo di Kantor Pushidrosal, Jakarta Utara, Senin (4/1).

Dia menjelaskan, dalam meneliti lebih lanjut seaglider tersebut Pushidrosal akan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait. Sejauh ini, pihaknya belum melakukan pembongkaran alat tersebut. Dia berharap, kerja sama dengan berbagai pihak itu dapat melacak dari mana asal seaglider itu.

Terlebih, SeaGlider itu ditemukan dengan tidak terdapat ciri-ciri tulisan negara pembuatnya. Saat ditunjukkan kepada publik, di bagian tubuh seaglider tersebut memang tak ada tulisan apapun yang berisi informasi asal alat tersebut.

"Mudah-mudahan nanti bisa kita lacak. Point pertamanya di mana saja, terus arahnya ke mana saja. Tentuhya nanti bisa kita cek untuk itu. Karena mohon maaf belum kita bongkar ini," jelas dia.

TNI AL telah menyatakan alat serupa drone yang ditemukan di laut Indonesia itu merupakan SeaGlider, alat untuk riset bawah laut. Namun, alat tersebut juga dapat digunakan untuk keperluan industri atau bahkan pertahanan.

"Alat ini lebih pada untuk riset, riset bawah laut. Karena memang alat ini tidak bisa mendeteksi kapal. Jadi bukan untuk kegiatan mata-mata dan sebagainya," jelas Yudo.

Dia menjelaskan, SeaGlider merupakan alat yang  diluncurkan dari kapal. Alat tersebut dapat turun ke dasar laut dengan memancarkan sensor untuk mendeteksi kedalaman, oksigen, objek bawah laut, dan data bawah laut lainnya. Sensor tersebut mengirimkan data dan posisi alat tersebut ke permukaan lewat satelit.

"Bisa tenggelam, mengumpulkan data, dara altimetri tentunya, kemudian arah arus, juga kedalaman, data-data tentang altimetri laut. Kemudian dia juga bisa bertahan hingga dua tahun beroperasi di laut, bisa dikendalikan," kata Yudo.

Menurut Yudo, alat itu banyak digunakan untuk keperluan survei atau mencari data hidrooseanografi. Untuk keperluan industri, alat tersebut dapat mendeteksi kesuburan bawah laut, oksigen, metan, gas alam bawah laut, oksigen, hingga merekam suara ikan saat bermigrasi.

"Data ini bisa diakses di website oleh semua negara. Tentunya alat ini bisa digunakan untuk industri atau pertahanan. Tergantung siapa yang memakai," jelas dia.

Dia menerangkan, salah satu data yang dapat digunakan untuk pertahanan dari hasil sensor alat tersebut berupa data kedalaman atau layer laut. Itu dapat digunakan ketika kapal selam yang melaut tidak ingin terdeteksi dengan mencari kedalaman yang pekat sehingga tak dapat dideteksi kapal yang ada di atas air.

"Supaya kapal selam supaya tidak dideteksi, dicari kedalaman tadi yang layarnya tentunya yang pekat atau tidak. Berarti yang pekat sehingga kapal selam tersebut tidak dapat dideteksi," kata Yudo.


Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono menjelaskan tentang penemuan alat berupa Sea Glider saat konferensi pers di Pushidrosal, Ancol, Jakarta, Senin (4/1/2021). KSAL menjelaskan bahwa Sea Glider yang ditemukan oleh nelayan di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan tersebut berupa alat yang berfungsi untuk mengecek kedalaman laut dan mencari informasi di bawah laut itu akan diteliti lebih lanjut. - (Antara/M Risyal Hidayat)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler