Isu Listyo Calon Tunggal Jokowi dan Sejumlah PR Kapolri Baru
Listyo Sigit diisukan menjadi calon tunggal Kapolri yang akan diajukan Jokowi ke DPR.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika, Antara
Dalam beberapa hari terakhir, Kabareskrim Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo paling dijagokan untuk menggantikan Jenderal Idham Azis menjadi Kapolri yang baru. Salah satu yang yakin adalah Anggota Komisi III DPR RI, Jazilul Fawaid.
"Menurut saya hanya satu nama yang diusulkan (menjadi calon Kapolri), Listyo Sigit Prabowo yang terkuat dan punya kedekatan. Insyaallah, akan terpilih jika Allah SWT dan Presiden menghendakinya," kata Jazilul Fawaid (Gus Jazil) di Jakarta, Senin (11/1).
Mantan Ketua MPR Amien Rais juga memprediksi, Listyo akan dipilih Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri.
"Kalau saya tidak mendahului takdir, saya yakin yang akan dipilih Pak Jokowi itu Kabareskrim sekarang ini, yaitu Pak Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo," ujar Amien dalam video di akun Youtubenya yang dilihat pada Senin (11/1).
Ia memprediksi nama tersebut berdasarkan logikanya sebagai pengamat. Listyo dinilai Amien sebagai sosok yang paling cocok, dan aman dengan Jokowi.
"Kalau saya keliru ya tidak apa-apa, tapi saya yakin ini (Listyo) yang akan dipilih dan DPR tinggal sami'na wa atho'na," ujar Amien.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta semua pihak tak berandai-andai perihal nama Kapolri pengganti Jenderal Polisi Idham Azis. Sebab hingga Selasa (12/1), DPR belum menerima suran presiden yang berisikan nama yang ditunjuk oleh Joko Widodo.
"Untuk pastinya nanti kita sama-sama saja tunggu surat dari Presiden supaya pasti. Kalau kita berandai-andai, cuma Presiden Jokowi yang tahu," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/1).
DPR, kata Dasco, juga tak bisa mendesak Jokowi untuk segera menyerahkan nama calon Kapolri. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dinilainya paham terkait mekanisme penggantian orang nomor satu di Polri itu.
"Ya tidak usah mendesak-desak Presiden, karena Presiden tentunya tahu mana urgensi dan batas waktu kapan suratnya harus dikirim ke DPR," ujar Dasco.
Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir pun enggan berkomentar banyak perihal kabar tersebut.
"No comment ya, kita tidak tahu. Kami ini berpengangan pada Surpres (surat Presiden), Surpres masuk sampai di Komisi III, itu yang akan kami pegang," ujar Adies di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/1).
Meski begitu, ia menilai lima nama yang direkomendasikan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) kepada Jokowi telah memenuhi syarat menjadi Kapolri. Jadi, ia meminta semua pihak untuk sabar menunggu.
"Jadi lima calon Kapolri ini yang diusulkan memang sudah tidak diragukan lagi kemampuan dan lain-lainnya. Kembali lagi kepada Bapak Presiden, mempunyai hak untuk memilih," ujar Adies.
Pekan lalu, Kompolnas sudah menyerahkan lima nama calon Kapolri ke Presiden Joko Widodo. Mereka ialah Wakapolri Komjen Polisi Gatot Eddy Pramono, Kepala BNPT Komjen Polisi Boy Rafli Ammar, Kabareskrim Komjen Polisi Listyo Sigit Prabowo, Kalemdiklat Komjen Polisi Arief Sulistyanto, dan Kabaharkam Komjen Polisi Agus Andrianto.
Nama Listyo menjadi sosok yang paling dijagokan. Ia diketahui merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1991. Pada 2010, Listyo menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Semarang.
Kemudian pada 2011, ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Resor Kota Surakarta saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo. Saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Listyo dirotasi menjabat sebagai Asubdit II Dit Tipdum Bareskrim Polri.
Kedekatan dengan Jokowi berlanjut, saat ia menjadi ajudannya pada 2014. Setelah tak menjadi ajudan, Listyo menduduki sejumlah jabatan di kepolisian, yakni Kapolda Banten pada 2016-2018 dan Kadiv Propam Polri pada 2018-2019, sebelum diangkat menjadi Kabareskrim.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritisi kinerja Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Pol Idham Aziz yang akan pensiun akhir bulan ini. Kontras berharap Kapolri baru dapat memperbaiki kinerja kepolisian.
Pertama, Kontras menyoroti keleluasaan Polri mengeluarkan diskresi tidak digunakan dengan baik untuk mengisi kekosongan hukum. Kewenangan penggunaan diskresi tidak diikutsertakan dengan parameter yang terukur. Pada praktiknya, Kontras mendapati diskresi ini mewujud dalam pembatasan kebebasan sipil.
Kedua, angka kekerasan oleh aparat kepolisian selalu mengalami keberulangan setiap tahunnya. Kontras memandang pembiaran terhadap kekerasan dilegitimasi dengan minimnya mekanisme pengawasan internal maupun eksternal
"Ketiga, represifitas dalam penanganan aksi massa. Pendekatan kepolisian dalam menangani aksi massa mengalami kemunduran pada aspek penghormatan hak atas kebebasan bereksresi. Bentuk-bentuk pemberangusan kerap terjadi pada saat sebelum, saat, sampai sesudah adanya aksi massa," kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dalam keterangan resmi yang diakses pada Selasa (12/1).
Selanjutnya, Kontras memantau Polri menggunakan sumber dayanya untuk memberangus kebebasan berekspresi di ranah siber. Metodenya dengan tafsir sepihak terhadap konten-konten yang dianggap penghinaan ataupun berita bohong melalui pendekatan penegakan hukum pidana.
Kritik kelima Kontras pada Polri ditujukan dalam aspek penempatan anggota Polri, terutama yang masih aktif pada lembaga-lembaga lain yang tidak berkaitan dengan fungsi keamanan. Kontras memandang hal ini rentan memunculkan konflik kepentingan.
"Banyaknya penempatan anggota Kepolisian di luar struktur organisasi Polri, maka tidak hanya dapat mengganggu independensi, namun juga berimplikasi pada meluasnya pengaruh dan kuasa Polri dalam tatanan sosial-ekonomi," ujar Fatia.
Fatia menganggap permasalahan tersebut merupakan hambatan kinerja Polri. Sehingga sudah sewajarnya dilakukan pembenahan demi kemajuan Polri itu sendiri.
"Tanpa adanya evaluasi secara segera terhadap kelembagaan Polri, maka tugas mulia berupa penegakan hukum dan pemeliharaan Kamtibmas dapat digunakan secara bias demi kepentingan-kepentingan eksternal yang dapat merugikan masyarakat dan mengancam HAM," tegas Fatia.
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengharapakan, orang nomor satu di Polri itu dapat mempersatukan internal kepolisian.
"Tentunya sosok ke depan yang kita harapkan sosok yang bisa menyatukan Polri, menyatukan internal Polri," ujar Herman di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (12/1).
Menurutnya, sampai saat ini masih adanya kelompok-kelompok tertentu di internal Polri. Bahkan tak jarang ada sosok-sosok yang diafiliasikan kepada pejabat Polri tertentu.
"Untuk menyatukan internal Polri tentu mudah-mudahan senior junior bisa disatukan, kemudian ya tentu tidak ada lagi orangnya siapa, kelompoknya siapa," ujar Herman.
Anggota Komisi III DPR Achmad Dimyati Natakusumah menyoroti PR yang wajib segera dituntaskan Kapolri baru. Di antaranya menyangkut pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan perbaikan internal Polri.
Dimyati menyebut PR Polri sebenarnya sangat banyak. Tetapi dua PR di atas dianggap menjadi kunci yang perlu secepatnya diperbaiki demi institusi Polri.
"Kapolri baru akan dihadapkan dengan segudang PR yang harus diselesaikan dengan baik. Sektor pemenuhan dan penghormatan HAM harus menjadi salah satu prioritas dalam setiap kegiatan dan tindakan yang dilakukan Polri," kata Dimyati dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Selasa (12/1).
Secara khusus, Dimyati menyinggung kasus penembakan terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) harus menjadi fokus penyelesaian Kapolri baru. Ia menyayangkan insiden semacam itu bisa terjadi di negara hukum.
"Kasus penembakan enam laskar FPI harus ditangani dengan adil, transparan dan akuntabel serta harus jadi yang terakhir di Indonesia. Tidak boleh terulang lagi," tegas politisi asal PKS itu.
Institusi Polri, lanjut Dimyati juga sepatutnya mengkaji kebijakan internal yang justru menjauhkan Korps Bhayangkara dari masyarakat. Misalnya tindakan represif Polri terhadap pengunjuk rasa.
"Masalah penanganan massa aksi yang cenderung abuse of power adalah PR lainnya. Polri harus humanis," ucap Dimyati.
Terakhir, senada dengan Herman Hery, Dimyati menyoal perbaikan internal Polri yang masih bermasalah. Contohnya soal penggunaan narkoba oleh oknum kepolisian. Ia siap mengonfirmasi hal ini saat uji kepatutan dan kelayakan calon Kapolri di DPR.
"Masih banyaknya oknum yang menyalahgunakan narkoba juga harus jadi perhatian serius Kapolri baru," sebut Dimyati.