Baru Untung Sejuta Pemalsu Surat Rapid Antigen Dibekuk
Pemalsu surat rapid antibody atau antigen diancam hukuman denda Rp 12 M.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polres Metro Jakarta Pusat (Jakpus) menangkap pria berinisial AA (31 tahun) karena terbukti membuat dan memperjualbelikan surat rapid test antibody dan rapid test antigen palsu. AA diketahui memasarkan surat palsu itu lewat media sosial dan telah berhasil menjual 15 lembar.
"Surat rapid antigen dan rapid test palsu ini sangat menarik. Kalau digunakan oleh orang yang positif, maka akan sangat berbahaya bagi dia dan orang di sekitarnya," kata Kasat Reskrim Polres Jakpus AKBP Burhanuddin di Mapolres Jakpus, Rabu (13/1).
Pelaku AA, ujar Burhanuddin, adalah pemain tunggal. Ia memasarkan surat palsu itu lewat media sosial Facebook. Surat rapid antibody dibanderol Rp 50 ribu. Sedangkan surat rapid antigen seharga Rp 70 ribu.
"Saya baru sejak akhir Desember lakukan ini. Baru jual ke 15 orang," kata AA ketika ditanyai Burhanuddin di hadapan wartawan. Artinya, ia sebenarnya baru untung sejuta rupiah bila menggunakan kalkukasi 15 pembeli dikali Rp 70 ribu.
Burhanuddin menyebut, surat palsu itu dibuat pelaku menggunakan ponselnya. Surat itu dibuat seolah-olah dikeluarkan oleh lembaga kesehatan resmi dengan menggunakan kop surat Halodoc dan Klinik Pratama Halomedika.
"Kita pastikan klinik ini (dan Halodoc) tidak ada hubungan atau sangkut paut dengan tersangka. Ini hanya salah satu modus atau cara tersangka untuk meyakinkan para pembeli," kata Burhanuddin.
Burhanuddin menjelaskan, AA ditangkap di kediamannya di Cipayung, Jakarta Timur, Selasa (12/1). Pelaku berhasil ditangkap setelah aparat pura-pura hendak membeli surat palsu tersebut.
Selain menangkap AA, petugas juga mengamankan barang bukti berupa 10 surat rapid antigen palsu dan tiga surat rapid antibody palsu. Diamankan juga satu ponsel, satu KTP pelaku, dan satu kartu ATM.
Atas perbuatannya, AA dijerat Pasal 51 juncto Pasal 35 UU RI tahun 2016 atas perubahan UU RI nomor 11 tahun 2008 tentang UU ITE dan atau Pasal 268 KUHP dan atau Pasal 93 juncto Pasal 9 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. "Ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 12 miliar," ungkap Burhanuddin.