Cerita Penolakan Vaksin Abad Ke-18: Cacar yang Bikin Modar
Puluhan ribu warga meninggal karena cacar, tetapi tetap banyak yang menolak divaksin.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika
Negara-negara dunia yang sedang babak belur dihajar pandemi Covid-19, kini diributkan dengan pengadaan vaksin. Sejumlah negara yang memproduksi vaksin saling klaim buatan mereka lebih manjur. Negara-negara konsumen tak kalah gaduh. Seperti hukum alam, semua hal di dunia ini pasti ada pro dan kontra, termasuk pemberian vaksin yang disebut sebagai satu-satunya jalan keluar mengakhiri pandemi corona.
Indonesia salah satu negara yang masuk gelombang kegaduhan. Mengimpor vaksin dari China, Pemerintah Indonesia mewajibkan rakyatnya patuh dan rela disuntik Sinovac. Jika menolak, siap-siap didenda paling besar Rp 5 juta. Tak main-main memang.
Demi meyakinkan para kelompok yang menentang atau ragu-ragu terhadap pemberian vaksin, MUI dan BPOM digandeng untuk memberi jaminan. MUI menyatakan Vaksin Sinovac suci dan halal. BPOM menjamin aman.
Masih kurang? Presiden Jokowi maju sebagai penerima vaksin. Ia menjadi rakyat Indonesia pertama yang disuntik vaksin, malah proses pemberian vaksin pun disiarkan langsung. Lantas apakah semua itu bakal menjamin pihak yang bersebrangan alias emoh disuntik akan luluh dan rela disuntik tanpa perlawanan? Tentu saja tidak.
Sejarah membuktikan, penolakan vaksin tidak hanya terjadi saat pandemi Covid-19 saja. Saya ajak Anda melompat mundur ke era kolonial, tepatnya pada tahun 1819 untuk mengetahui Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda pernah diserang pandemi virus mematikan bernama cacar.
Tulisan ini cukup panjang, pastikan Anda membacanya sampai tuntas untuk mendapatkan informasi lebih jelas.
BACA JUGA: Beredar Video Barisan Ambulans dan Antrean Pemakaman di TPU Tegal Alur Jakarta, Benarkah?
Di penghujung abad 18 itu Hindia Belanda diterpa wabah. Kompeni pusing setengah mati. Mereka kelimpungan karena wabah yang diketahui sebagai cacar, amat mematikan. Banyak pribumi wafat, tak sedikit orang-orang Eropa sekarat hingga menemui liang lahat.
Cacar telah menimbulkan kekacauan luar biasa bagi pribumi. Wabah itu dimulai dari Batavia, lalu menyebar ke berbagai wilayah di Pulau Jawa. Di Pekalongan misalnya, cacar menyerang setiap dua atau tiga tahun sekali.
Cacar menjadi penyakit paling mencemaskan di Yogyakarta dan Surakarta sebelum 1820. Bayangkan, 10 persen anak yang lahir di Yogyakarta pada 1820 meninggal karena cacar. Vaksin? Tentu saja belum ditemukan.
Dokter asal Inggris, John Crawfurd yang tiba di Jawa pada 1811 geleng-geleng kepala lantaran kedatangannya di Hindia Belanda disambut wabah cacar. Tak kaget memang, karena cacar ditemukan di Jawa sejak awal abad ke-17 dan diperkirakan masuk pada 1644 lewat Batavia sebagai gerbang Hindia Belanda.
Ilmu medis yang belum berkembang serta jumlah dokter dan tenaga kesehatan yang belum melimpah, membuat cacar mewabah hingga menyerang Priangan, Bogor, Semarang, Banten, hingga Sumatra, khususnya Lampung. Bahkan sampai ke wilayah timur.
Pada 1781 diperkirakan 20 penduduk Jawa meninggal dunia dari 100 orang yang terserang cacar. Bayi menjadi kelompok yang paling rentan terserang virus tersebut.
Di Bogor dan Jawa Barat, kematian bayi mencapai 20 persen dari jumlah kelahiran. Pada kurun waktu pemerintahan Inggris di Jawa (1811–1816) diketahui dari 1.019 bayi yang dilahirkan di Jawa, 102 di antaranya meninggal dunia karena cacar.
BACA JUGA: Beredar Video Barisan Ambulans dan Antrean Pemakaman di TPU Tegal Alur Jakarta, Benarkah?
Sebelum vaksin ditemukan, para dokter dan tenaga medis melakukan variolasi. Cara ini menjadi langkah medis pertama untuk pencegahan dan penanganan cacar.
Baha’Udin dalam Dari Mantri hingga Dokter Jawa yang dimuat dalam Humaniora Oktober 2006 menulis, pada tahun 1779, seorang dokter muda Belanda bernama dr. J van der Steege melakukan percobaan pertama variolasi di Batavia. Steege melakukan inokulasi terhadap 13 orang yang terkena cacar beberapa di antaranya adalah dari kelompok anak-anak.
Percobaan variolasi pertama ini mendapatkan hasil yang baik. Sampai tahun 1781, dr. Steege telah melakukan variolasi kepada 100 penderita cacar di Batavia. Namun, tindakan ini juga berisiko tinggi hingga mengakibatkan seorang anak penderita cacar meninggal dunia.
Varisiola adalah metode mengebalkan seseorang dari penyakit variola dengan menggunakan bahan yang diambil dari seorang pasien atau orang yang baru terkena variola. Caranya dengan menginfeksi pasien yang terkena virus cacar berkadar ringan. Diyakini tubuh pasien yang terpapar cacar ringan akan membangun antibodi yang menghindarkan pasien dari penyakit cacar parah yang bisa menyebabkan kematian.
Meski begitu cacar tak kunjung modar. Pasalnya metode ini berisiko besar. Dalam proses penyembuhannya tak sedikit pasien yang meninggal dunia lantaran daya tahan tubuh yang melemah.
Vaksin cacar baru ditemukan pada akhir abad ke-18. Penduduk Hindia Belanda baru merasakannya pada awal abad ke-19.
Vaksin itu dibuat Edward Jenner, seorang dokter dari Berkeley, Inggris pada 1796. Vaksin itu ditemukan tanpa sengaja. Saat itu Jenner sedang memperhatikan penduduk Berkeley yang mayoritas bekerja sebagai peternak. Tangan dan lengan para pemerah susu muncul lesi akibat terinfeksi cacar sapi. Namun, mereka yang pernah terinfeksi cacar sapi, ternyata kebal terhadap infeksi cacar air yang saat itu mewabah di desanya.
Dari pengamat itu, Jenner lantas membuat penelitian untuk membuat vaksin. Berbagai percobaan dilakukan, hingga vaksin tersebut sempurna. Kata vaksin digunakan Jenner karena berasal dari sapi yang dalam bahasa latin adalah vacca.
Kapal Elisabeth mengangkut vaksin cacar dari Pulau Isle de France (timur Madagaskar) dan mendarat selamat di Batavia. Vaksin yang dibawa dari pusat pengembangan vaksin di Jenewa kemudian dikirim ke Baghdad dan Basra (Irak) lalu ke India tersebut tiba di Batavia pada Juni 1804.
Batavia saat itu sedang dipimpin Gubernur Jenderal asal Inggris, Stamford Raffles, setelah Negeri Ratu Elizabeth tersebut mengambil alih wilayah jajahan Belanda, termasuk Hindia Belanda.
Setelah sampai di Batavia, vaksin lalu dikirim ke berbagai kota, khususnya yang warganya banyak terpapar virus cacar. Semarang, Jepara, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Meski vaksin sudah tiba walau memakan waktu, masalah kembali timbul. Tenaga medis yang menyuntikkan vaksin amat sangat terbatas. Pemerintah Hindia Belanda sampai besar-besaran mendaratkan dokter-dokter dari Eropa, khususnya Belanda untuk bergerak cepat menyuntikkan vaksin.
Masalah lainnya adalah banyak masyarakat saat itu ragu akan vaksin. Sama seperti saat ini, vaksin yang saat itu barang baru diragukan bakal tak mampu mengatasi virus cacar yang bergerak bak makhluk halus.
Keraguan untuk divaksin sudah ada sejak dulu. Antivaksin istilah sekarang.
Cacar yang sudah menghantui warga Batavia sejak 1644 memang menjadi momok menakutkan. Banyak yang sekarat, tak sedikit yang wafat.
Wajar memang, sebab hanya sedikit rakyat saat itu bertahan dari serangan cacar. Contohnya para pekerja (kami tak rela menggunakan kata "budak") dari Bugis dan Bali yang lebih kuat bertahan ketimbang pekerja dari Nias.
Virus variola muncul bak malaikat pencabut nyawa. Tak hanya di pulau Jawa saja seperti yang sudah diuraikan di atas, virus ini menyebar hingga ke Bali, Ternate, dan Ambon. Di Pulau Dewata, angka kematian mencapai 18 ribu orang pada 1871.
Penolakan terjadi di berbagai daerah karena kealpaan pengetahuan tentang keganasan virus cacar. Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut pada 1613 cacar pernah menyerang Malaka dan membunuh seperenam populasi. Wabah berikutnya muncul pada 1651 yang menghilangkan nyawa sepertiga penduduknya. Virus yang sama pun menyerang penduduk Hindia Belanda.
Sama seperti sekarang, demi terbebas dari pandemi pemerintah kolonial menggratiskan vaksin dan mengeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst, semacam peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik, dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie, semacam peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar. Berdasarkan peraturan itulah program vaksin dimulai di Hindia Belanda.
Dokter-dokter yang sebelumnya didatangkan dari Belanda lalu memberikan pelatihan kepada para mantri di sekolah dokter pertama di pulau Jawa. Mereka pun ditasbihkan menjadi petugas kesehatan penyuntik vaksin.
Tak ada dokter, mantri pun jadi. Seperti itulah. Meski terlatih, banyak warga yang menolak divaksin para mantri.
Pribumi yang bekerja di kebun-kebun milik orang Eropa rentan terserang virus, sehingga membuat para majikan berkulit putih was-was. Perekonomian Hindia Belanda bisa terganggu jika interaksi pekerja dengan mandor dan majikan terhambat. Para dokter dan mantri pun bergerak cepat, tetapi tidak maksimal.
Program vaksinasi terkendala banyak hal. Penduduk yang saat itu masih buta huruf membuat para mantri susah hati. Mereka menolak.
Baha’Udin menyebut alasan utamanya adalah rasa enggan penduduk terhadap sesuatu yang belum dikenalnya serta jarak tempuh untuk mencapai tempat pencacaran juga jadi alasan kuat penduduk untuk tidak melakukan pencacaran. Kegagalan vaksinasi itu terjadi di Surabaya (1824), Pasuruan (1828), Kedu (1823), dan Banyumas (1835).
Kegagalan itu bukan semata karena jarak tempuh. Faktor fatwa ulama setempat yang tidak menyetujui vaksin juga menjadi kendala, seperti di Pulau Bawean. Seluruh penduduk di sana menolak vaksin karena program tersebut tidak disetujui ulama.
Cerita menarik malah terjadi di Madiun pada 1831. Program vaksinasi gagal lantaran beredar kabar vaksinasi hanya akal-akalan residen yang ingin menjadikan anak-anak kampung makanan buaya peliharaan. Kabar hoaks tersebut menyebar cepat. Para orang tua percaya. Bahkan banyak ibu-ibu saat itu menyembunyikan anak mereka di hutan agar terhindar dari program tersebut.
Keraguan timbul bukan hanya kabar hoaks tersebut. Sama seperti sekarang, warga enggan divaksin karena ragu efektivitas vaksin karena banyak anak yang tetap terkena cacar meski sudah divaksin.
Pemerintah saat itu pun dibuat kelimpungan terhadap penolakan tersebut. Sama seperti saat ini, banyak rakyat yang menolak untuk divaksin Covid-19. Sejarah memang selalu berulang.
Ya, puluhan tahun kemudian, tepatnya tahun 1918-1920, pandemi kembali terjadi. Kali ini pagebluk itu bernama influenza alias flu spanyol. Ingin rasanya saya uraikan di sini, tetapi karena tulisan ini sudah terlampau panjang, saya akan lanjutkan di tulisan selanjutnya. Sabar ya.
BACA JUGA: Beredar Video Barisan Ambulans dan Antrean Pemakaman di TPU Tegal Alur Jakarta, Benarkah?