AS Nyatakan China Lakukan Genosida Terhadap Muslim Uighur
AS mengeklaim menyaksikan upaya sistematis untuk menghancurkan Uighur oleh China.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan, China telah melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan kepada Muslim Uighur, Selasa (19/1). Keputusan itu diambil sehari sebelum presiden terpilih Joe Biden dilantik.
Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo mengatakan telah melakukan pemeriksaan cermat dari ketersediaan fakta-fakta terkait kondisi Muslim Uighur. "Saya yakin genosida ini sedang berlangsung, dan kami menyaksikan upaya sistematis untuk menghancurkan Uighur oleh negara partai China," kata Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Pompeo menyerukan semua badan yuridis multilateral yang relevan dan sesuai bergabung dengan AS dalam upayanya mempromosikan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman ini terhadap Muslim Uighur.
Kedutaan Besar China di Washington segera mengkritik keputusan dan deklarasi AS terkait genosida. Ia menyebut, hal itu sebagai campur tangan yang besar dalam urusan internal China. "Apa yang disebut 'genosida' di Xinjiang hanyalah sebuah kebohongan. Itu adalah lelucon yang digunakan untuk mendiskreditkan China," katanya.
Calon menlu AS di pemerintahan Joe Biden, Antony Blinken, mengatakan setuju dengan deklarasi genosida terhadap Muslim Uighur. Dia menyebut, AS tidak boleh mengimpor produk apa pun yang dibuat dengan kerja paksa di Xinjiang.
"Kita perlu memastikan bahwa kita juga tidak mengekspor teknologi dan alat yang dapat digunakan untuk melanjutkan penindasan mereka," kata Blinken saat berbicara di Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS pada Selasa (19/1).
Keputusan AS menyatakan China melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada Muslim Uighur tidak secara otomatis memicu hukum apa pun. Namun, langkah itu bakal membuat negara-negara mengkaji matang-matang untuk mengizinkan perusahaan berbisnis dengan Xinjiang. Pekan lalu, Washington memberlakukan larangan terhadap semua produk kapas dan tomat dari Xinjiang.
Pada Oktober tahun lalu, 39 negara anggota PBB menuntut China membuka akses bagi pengamat independen untuk mengunjungi Provinsi Xinjiang. Hal itu guna menyingkap kebenaran tentang dugaan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur di daerah tersebut. Inggris, AS, Swiss, Kanada, Jepang, dan Norwegia adalah beberapa negara yang tergabung dalam 39 negara tersebut.
Pada 2018, panel HAM PBB mengatakan bahwa mereka telah menerima laporan yang dapat dipercaya bahwa setidaknya 1 juta orang Uighur dan Muslim lainnya telah ditahan di Xinjiang. Beberapa organisasi HAM turut meyakini adanya tindakan represif dan sewenang-wenang terhadap Muslim Uighur.
China secara konsisten membantah laporan dan tudingan tersebut. Ia tak menyangkal keberadaan kamp-kamp di Xinjiang. Namun, Beijing mengklaim mereka bukan kamp penahanan, tapi pusat pendidikan vokasi.
Pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.