Studi Ungkap Sistem Kekebalan Meningkat Pulih dari Covid-19

Pasien sembuh dari Covid-19 akan terlindungi dari virus setidaknya 6 bulan

Pixabay
Ilustrasi Covid-19. Studi Universitas Rockefeller mengungkapkan para pasien yang pulih dari Covid-19 akan terlindungi dari virus, setidaknya selama enam bulan dan kemungkinan lebih lama.
Rep: Meiliza Laveda Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi Universitas Rockefeller mengungkapkan para pasien yang pulih dari Covid-19 akan terlindungi dari virus, setidaknya selama enam bulan dan kemungkinan lebih lama. Penelitian yang dipublikasikan di Nature, memberikan bukti bahwa sistem kekebalan terus meningkatkan kualitas antibodi bahkan setelah infeksinya berkurang.

Antibodi yang diproduksi berbulan-bulan setelah infeksi menunjukkan peningkatan kemampuan untuk memblokir SARS-CoV-2 serta versi mutasinya seperti varian Afrika Selatan. Peningkatan antibodi diproduksi oleh sel-sel kekebalan dan terus berkembang. Berdasarkan temuan ini, para peneliti menduga ketika pasien yang sembuh bertemu virus berikutnya, tanggapannya akan lebih cepat dan lebih efektif dalam mencegah infeksi ulang.

“Ini benar-benar berita yang menggembirakan. Jenis tanggapan kekebalan yang kita lihat di sini berpotensi memberikan perlindungan untuk beberapa waktu. Selain itu, juga memungkinkan tubuh untuk melakukan tanggapan yang cepat dan efektif terhadap virus setelah terpapar ulang,” kata Michel C. Nussenzweig, Profesor Zanvil A. Cohn, dan Ralph M. Steinman.

Tim telah melacak dan mengkarakterisasi respons antibodi pada pasien Covid-19 sejak awal pandemi di New York.

Baca Juga


Baca juga : Dokter Paru Ungkap 5 Tingkat Derajat Keparahan Covid-19

Memori tahan lama

Antibodi yang dibuat sebagai respons terhadap virus, bertahan dalam plasma darah selama beberapa pekan atau bulan. Namun, kadarnya menurun secara signifikan seiring waktu. Sistem kekebalan memiliki cara yang lebih efisien untuk menangani patogen. Sistem ini menciptakan sel B memori yang mengenali patogen dan dapat dengan cepat melepaskan antibodi saat mereka bertemu untuk kedua kalinya.

Tetapi seberapa baik memori ini bekerja, tergantung pada patogennya. Untuk memahami kasus SARS-CoV-2, Nussenzweig dan rekannya mempelajari respons antibodi dari 87 orang pada dua waktu. Yakni satu bulan setelah infeksi dan enam bulan kemudian. Meskipun antibodi masih dapat dideteksi pada enam bulan, jumlahnya telah menurun. Eksperimen laboratorium menunjukkan kemampuan sampel plasma partisipan untuk menetralkan virus berkurang lima kali lipat.

Sebaliknya, sel B memori pasien, khususnya yang memproduksi antibodi melawan SARS-CoV-2, tidak menurun jumlahnya. Bahkan, sedikit meningkat dalam beberapa kasus. “Jumlah keseluruhan sel B memori yang menghasilkan antibodi yang menyerang tumit Achilles dari virus dikenal sebagai domain pengikat reseptor tetap sama. Ini kabar baik karena itu yang Anda butuhkan jika terinfeksi virus lagi,” ujar Ahli Imunologi, Christian Gaebler.

‘Penumpang gelap’

Dikutip Science Daily, Jumat (22/1), pengamatan yang lebih dekat pada sel B memori mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. Sel-sel ini telah mengalami banyak mutasi termasuk setelah infeksi teratasi dan sebagai hasilnya antibodi yang jauh lebih efektif. Percobaan laboratorium selanjutnya menunjukkan kumpulan antibodi baru ini lebih mampu menempel erat pada virus dan dapat mengenali versi mutasinya.

“Kami terkejut melihat memori sel B terus berevolusi selama ini. Itu sering terjadi pada infeksi kronis, seperti HIV atau herpes, di mana virus bertahan di dalam tubuh. Tetapi kami tidak menyangka akan melihatnya dengan SARS-CoV-2, yang diperkirakan akan keluar dari tubuh setelah infeksi teratasi,” ucap Nussenzweig.

SARS-CoV-2 bereplikasi di sel tertentu di paru-paru, tenggorokan bagian atas, dan usus kecil. Sisa partikel virus yang bersembunyi di dalam jaringan ini dapat mendorong evolusi sel memori. Untuk melihat hipotesis ini, para peneliti telah bekerja sama dengan Saurabh Mehandru, mantan ilmuwan Rockefeller dan dokter di Rumah Sakit Mount Sinai. Dia telah memeriksa biopsi jaringan usus dari orang yang telah pulih dari Covid-19 rata-rata tiga bulan sebelumnya.

Tes menunjukkan tujuh dari 14 orang yang diteliti, adanya materi genetik SARS-CoV-2 dan proteinnya di dalam sel yang melapisi usus. Para peneliti tidak tahu apakah sisa-sisa virus ini masih menular atau hanya sisa-sisa virus mati. Tim tersebut berencana untuk mempelajari lebih banyak orang agar lebih memahami peran apa yang dimainkan oleh ‘penumpang gelap’ akibat virus dalam perkembangan penyakit dan kekebalan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler