Efektifkah Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Yogya?
Republika menggelar diskusi membahas pengetatan terbatas kegiatan masyarakat di DIY.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Republika menggelar focus group discussion (FGD) yang membahas penerapan pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat (PTKM) di Daerah Istimewa Yogyakarta. PTKM di DIY sudah diterapkan sejak 11-25 Januari 2021 kemarin dan diperpanjang 26 Januari sampai 8 Februari.
Acara ini digelar dengan mengusung tema 'Efektifkah Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Yogya?'. Terdapat tiga narasumber terlibat diskusi.
Di antaranya Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad dan Ketua Umum Paguyuban Perajin, dan PKL Malioboro-Ahmad Yani (Pemalni) Slamet Santoso. Narasumber ketiga adalah Kepala Social Development Studies Centre (Sodec) Departemen PSDK Fisipol UGM, Hempri Suyatna.
Dalam diskusi, Kepala Satpol PP DIY Noviar menilai penerapan PTKM selama dua pekan di DIY belum dapat dikatakan efektif. Pasalnya, penambahan kasus positif masih terus melonjak. Bahkan sempat menyentuh lebih dari 400 kasus baru per harinya.
"Apakah efektif, kalau dilihat dari data ternyata tidak menurunkan kasus di DIY," kata Noviar dalam FGD yang digelar secara virtual melalui Zoom, Selasa (26/1).
Menurutnya hal itu karena kesadaran masyarakat DIY menjalankan poin-poin dalam aturan PTKM masih rendah. Disiplin pelaksanaan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 juga belum baik.
Satpol PP DIY menemukan ribuan pelanggaran masih dilakukan masyarakat. Termasuk pelaku usaha. Sejauh ini sanksi diberikan berupa teguran lisan dan tertulis, hingga penutupan operasional sementara oleh aparat.
"Kami banyak mendapat keluhan dari masyarakat terkait imbasnya atau dampak ekonomi yang mereka rasakan (akibat penerapan PTKM). Sementara dari pertumbuhan kasus positif Covid-19 tidak landai," ujarnya.
Sementara itu, Ketum Pemalni Slamet Santoso menuturkan, banyak pelaku usaha di DIY terdampak akibat diberlakukannya PTKM. Terutama bagi pedagang kaki lima (PKL). Mereka bahkan harus mencari alternatif pekerjaan lain guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Sangat berdampak pada kami yang sangat tergantung pada sektor pariwisata. Sampai sekarang itu ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah sekian bulan meraba hidupnya (akibat pandemi) dan juga diterapkan PTKM di Jawa-Bali," kata Slamet.
Ia menyebut, berkurangnya pengunjung masuk Malioboro akibat pandemi menyulitkan pedagang mencari nafkah. Dengan adanya PTKM, kondisi pedagang malah semakin kritis.
Bahkan ada berapa pedagang kata dia yang memilih tidak berjualan. Hal ini mengingat biaya operasional lebih besar daripada pendapatan didapat selama pandemi dan PTKM.
"Tetap ada yang buka walaupun satu pekan berjualan hanya dua hari yang laku dan lima harinya kosong. Tidak menjual sama sekali. Kadang hanya laku dua potong (pakaian) selama sepekan itu, maksimal 10 potong," ujarnya.
Panelis dari UGM, Hempri menyebut, aspek kesehatan dan ekonomi memang masalah utama di tengah pandemi saat ini. Walaupun begitu, keduanya harus berjalan beriringan.
"Yang berat adalah bagaimana menyinkronkan antara ekonomi dan kesehatan," katanya.
Untuk menghadapi pandemi, katanya, ke depan harus ada peta jalan atau roadmap pengembangan ekonomi berbasis kesehatan. Sehingga, ekonomi khususnya di DIY tidak semakin turun.
"Ke depan harus ada roadmap pengembangan ekonomi berbasis kesehatan. Perlu ada desain yang dimiliki daerah dan nasional. Sehingga ekonomi tidak berdampak negatif yang terlalu parah. Tapi, di sisi lain protokol kesehatan tetap terjaga," ujarnya.