Memaksakan Pilkada Serentak di 2024

KPU mengatakan pilkada serentak di 2024 akan sangat berat bagi penyelenggara.

Antara/Rahmad
DPR sedang menggodok kembali revisi UU Pemilu. Pembahasan tersebut akan menentukan apakah pilkada serentak akan digelar pada 2022 dan 2023 atau bersamaan dengan Pileg dan Pilpres di 2024.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Mimi Kartika, Febrianto Adi Saputro

Polemik pilkada serentak di 2024 masih bergulir. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, merasa heran dengan sikap pemerintah yang memaksakan pilkada serentak 2024. Padahal efeknya membuat banyak kursi kepala daerah definitif kosong di tengah pandemi Covid-19.

Pangi menjabarkan, pemerintah berdalih pilkada serentak 2020 tetap diadakan demi hak konstitusi rakyat. Yaitu, tidak mau ada plt yang menjabat secara bersamaan di 270 wilayah. Alasan lain, plt tidak boleh mengambil kebijakan strategis dan pilkada bisa mengerek ekonomi. Padahal publik meminta pilkada serentak 2020 ditunda demi alasan kemanusiaan.

Pada praktiknya, Pilkada 2020 tetap berlangsung. Pangi menyindir mengapa pemerintah tak memakai argumentasi serupa untuk mengadakan pilkada di 2022 dan 2023. Sebab jika pilkada dipaksakan pada 2024 maka kursi kepala daerah akan diisi Plt. Sedang Plt tak bisa mengambil kebijakan strategis di masa pandemi.

"Pemerintah dijangkiti penyakit amnesia, mengapa begitu cepat melupakan argumentasi untuk tetap ngotot melaksanakan pilkada tahun lalu? Argumen yang sama mengapa tidak dipakai kembali untuk tetap konsisten melakukan normalisasi trayek pilkada serentak di 2022 dan 2023?" kata Pangi dalam keterangan resmi yang diterima Republika pada Senin (1/2).

Pangi mengingatkan, pemerintah bertindak bijak dengan penyelenggaraan pilkada serentak di 2022-2023. "Sebab akan ada lebih kurang 272 kepala daerah Plt? Ini yang merusak kualitas demokrasi, disharmoni, disorder, padahal setahu saya, boleh dikoreksi prasyarat negara demokratis yakni terjadi pertukaran elite berkuasa/kepala daerah secara reguler," lanjut Pangi.

Pangi mencermati banyak kepala daerah tersakiti karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak. Padahal manfaat pilkada serentak yang diklaim menghemat biaya masih diragukan.

"Ini yang saya maksud cacat bawaan demokrasi karena pemerintah yang tidak konsisten sikapnya," tegas Pangi.

Pangi mendata pada 2022, terdapat 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Kemudian 171 pejabat akan mengakhiri masa baktinya pada 2023. Para kepala daerah yang habis masa jabatannya ini hasil pilkada 2017 dan 2018. Berikutnya akan ada 272 Plt yang akan menduduki posisi kepala daerah.

"Apakah Presiden merasa belum cukup kuat dengan kekuasaan/legitimasi yang dimiliki saat ini? sehingga berambisi mengendalikan kepala daerah/tegak lurus dengan Presiden melalui Plt yang ditunjuk Kemendagri," ujar Pangi.

Plt Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Ilham Saputra, mengatakan, penyelenggaraan pilkada serentak pada 2024 akan sangat berat. Sebab, di tahun yang sama, ada pesta demokrasi lima tahunan yakni pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.

"Tentu akan sangat berat bagi kita jika kemudian pelaksanaan pilkada itu dilaksanakan pada tahun 2024. Kenapa demikian, karena tahapannya berbarengan bersamaan dengan pemilu nasional," ujar Ilham dalam kegiatan evaluasi Pilkada 2020 secara daring, Selasa (2/2).

Jadwal penyelenggaraan Pilkada 2024 ini mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sedangkan, terkait adanya wacana perubahan jadwal pelaksanaan pilkada melalui revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), KPU hanya menunggu keputusan hukum maupun politik dari pembuat UU.

Namun, menurut Ilham, KPU siap melaksanakan Pilkada 2024 maupun Pilkada 2022. Jika memang jadwal penyelenggaraan pemilihan dalam UU saat ini tidak diubah.

"Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus siap melaksanakan. Jika mengacu kepada UU sekarang maka kita harus pelaksanaan Pilkada 2024," tutur Ilham.

Apabila Pilkada tetap 2024 bersamaan dengan Pemilu 2024, Ilham mengingatkan catatan-catatan dari pengalaman Pemilu 2019. Ia mencontohkan, banyak formulir C1 atau sertifikat hasil penghitungan suara tidak selesai di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Kemudian, yang paling ironi, para petugas ad hoc mengalami kelelahan, bahkan ratusan di antaranya hingga kehilangan nyawa. Selain itu, KPU juga khawatir atas respons masyarakat, apakah mereka akan jenuh disuguhi pilkada sekaligus pemilu atau tidak, saat tahapan sosialisasi nanti.

"Kita harus siap memberikan pendidikan  pemilih, pemahaman kepada masyarakat , mau pilkada dan pemilu nasional nanti itu bisa dijalankan secara bersamaan, apakah masyarakat tidak jenuh, bagaimana strategi kita mengahadapi masyarakat itu," kata Ilham.

Wakil Ketua Komisi II DPR Syamsurizal mengatakan sampai saat ini proses harmonisasi terhadap perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu masih belum final di tingkat Badan Legislasi (Baleg). Terakhir, proses harmonisasi baru diawali dengan mendatangkan sejumlah pakar.

"Jadi yang sempat dilakukan Baleg hanya itu, itu pun hanya beberapa orang belum lengkap dari rencana sekian belas orang kita mau dengarkan pendapat pakar itu. Itu belum dapat diwujudkan, sehingga langkah kita untuk menuju kepada harmonisasi sampai saat ini belum dilakukan," kata Syamsurizal.

Syamsurizal yang juga anggota Baleg tersebut mengatakan untuk sampai proses pembahasan masih sangat jauh. Termasuk apakah akan diparipurnakan dalam waktu dekat.

"Oleh karena itu dia apakah final sampai prolegnas belum juga. Jadi sampai hari ini pun untuk diparipurnakan belum. Karena memang belum selesai di Baleg," ujarnya.

Syamsurizal menambahkan jika DPR tidak bisa memproses revisi Undang-Undang Pemilu pada masa sidang ini, DPR bisa memulai lagi melalui RDPU dan harmonisasi di baleg dari awal. Setelah diharmonisasi baru akan diserahkan ke badan musyawarah.

"Tergantung bamusnya nanti kalau ini diserahkan komisi II, komisi II buat pansus atau apa panjanya," tuturnya.

Sebelumnya dikabarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta partai koalisi pendukungnya untuk mengkaji ulang rencana revisi Undang-Undang Pemilu. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lanjut tidaknya revisi undang-undang pemilu tergantung komisi II.

"Mesti ada kesepahaman di DPR sendiri mengenai jadi atau tidaknya revisi UU pemilu di luar kode-kode yang katanya dilakukan oleh pemerintah," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/2).

Ia menyerahkan sepenuhnya pada Komisi II DPR sebagai pengusul revisi Undang-Undang tersebut. Tentunya hal tersebut tergantung juga dari perintah fraksi dari masing-masing partai yang ada di parlemen.

"Ini kembali kepada kawan-kawan di komisi II tentunya yang menjalankan perintah dan fraksi partainya masing-masing untuk kemudian mengkaji dan melakukan proses-proses komunikasi di komisi II, apakah inisiatif DPR ini mau dilanjutkan atau tidak," ujarnya.

Baca Juga


Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)








BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler