Kecemasan AHY, Mungkinkah Kader Demokrat Tergoda Kudeta
AHY disarankan fokus bangun soliditas Partai Demokrat agar tak mudah goyah dari luar.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro, Sapto Andika Candra, Febrianto Adi Saputro, Zainur Mahsir Ramadhan
Jenderal Moeldoko langsung menepis tudingan sebagi sosok dalam lingkaran Istana yang akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan politik Partai Demokrat. Tadi malam, sosok Kepala Kantor Staf Presiden itu mengatakan, tudingan kudeta tak tepat ditujukan kepadanya.
"Kalau ada istilah kudeta, ya kudeta itu dari dalam, masa kudeta dari luar?" ujar Moeldoko dalam keterangan pers, Senin (1/2) malam.
Selain nama Moeldoko, ada sederet nama lain yang terseret dugaan kudeta Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono. AHY, sapaan populer Agus, kepada media kemarin mengatakan, setidaknya ada lima orang yang terlibat.
Mereka adalah seorang kader aktif diduga berinisial J, satu anggota tidak aktif selama enam tahun (M), satu eks kader yang meninggalkan partai karena hukuman korupsi (N), dan satu eks kader yang meninggalkan partai tiga tahun lalu (D). Sisanya adalah sosok-sosok yang disebut AHY ada dalam lingkungan Istana dan dekat dengan Presiden Joko Widodo.
Selain Moeldoko, nama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, ikut disebut-sebut. Lewat akun Twitter-nya, Mahfud, mengatakan, jabatannya sebagai menteri koordinator sudah tentu tidak bisa digunakan dan tidak laku untuk memberi restu terhadap upaya manuver politik. "Jabatan Menko tentu tak bisa digunakan dan pasti tidak laku untuk memberi restu. Yang penting internal Partai Demokrat sendiri solid," jelas dia.
Mahfud juga menyatakan, isu pemberian restu oleh sejumlah pejabat pemerintahan, termasuk dia, dalam kudeta Partai Demokrat dari AHY merupakan isu aneh. Dia menampik hal tersebut dengan alasan jangankan merestui, terpikir saja pun tidak.
"Ada isu aneh, dikabarkan beberapa menteri, termasuk Menkopolhukam Mahfud MD, merestui Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, mengambil alih Partai Demokrat dari AHY melalui Kongres Luar Biasa," ungkap Mahfud dalam cicitan lainnya.
Pakar Komunikasi Universitas Padjajaran (Unpad), Justito Adiprasetio, menyarankan AHY transparan tentang ancaman pada partainya. AHY diminta membeberkan dalang dibalik dugaan upaya kudeta di tubuh Demokrat.
"Lebih baik jika telanjur ada perang terbuka ini buka saja semuanya secara transparan biar publik tahu semuanya, publik juga akan diuntungkan," kata Justito pada Republika, Selasa (2/2).
Justito mengungkapkan, isu perpecahan partai bukan baru pertama terjadi di Tanah Air. Bahkan, Partai Golkar sudah mengalaminya hingga lahir partai baru. Untuk kasus Demokrat, AHY mengutarakan, ancaman berasal dari luar partai dan mantan kader partai.
"Ada dinamika dalam internal partai (Demokrat) hingga sebagian (kader) terbuka menerima proses pergantian walau Demokrat terkesan partai keluarga," ujar peneliti di Mores Strategics tersebut.
Justito memandang, perpecahan di Demokrat berpeluang terjadi walau ada kekuatan trah Yudhoyono. Apalagi, suara Demokrat kian menurun sejak ayah AHY tak lagi duduk di kursi Presiden. Oleh karena itu, ia merasa wajar jika AHY coba memperkuat lagi para kader Demokrat.
"AHY mungkin alami anxiety, kecemasan bahwa internal partainya tergoda terhadap kudeta," ucap Justito.
Justito menilai, para pelaku kudeta di Demokrat menganggap AHY tak mampu mendongkrak suara partai. Sebagian kader Demokrat dianggap resah akan masa depan partai.
"Kalau dilihat faktual suara Demokrat turun sejak 2009. Tentu pengaruhnya ada ke internal partai. Ini menjadi bukti kinerja Ketum Partai di mana suara partai selalu turun dan masa depannya bagaimana," pungkas Justito.
Keterangan pers AHY kemarin tentang adanya upaya pembajakan kepemimpinannya di Partai Demokrat, dilihat Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, wujud tidak solidnya partai. Padahal, sebagai catatan, AHY menang secara aklamasi sebagai ketua umum.
"Jadi kalau belum setahun sudah ada gerakan politik itu menandakan kekuasaan di Demokrat tidak bulat," kata Qodari.
Dia pun mempertanyakan kemenangan aklamasi AHY pada kongres 2020 lalu. "Berarti aklamasinya Partai Demokrat pada tahun lalu Maret 2020 itu sebetulnya bukan aklamasi yang sejati. Karena kalau aklamasi yang sejati, yang alamiah, itu terjadi ketika ada satu tokoh yang dianggap sangat kuat, sangat legitimate gitu ya, sangat tepat untuk menjadi ketua umum dan diterima oleh semuanya," ujarnya.
Ia menilai, dinamika yang terjadi tersebut justru didominasi oleh mayoritas kader Partai Demokrat, baik yang sudah keluar maupun yang masih menjabat. Terbukti, adanya lima orang kader Partai Demokrat yang diduga terlibat serta satu orang berasal dari kalangan Istana.
"Menurut saya sih ya harus dijelaskan scara terbuka siapa saja tokoh itu dan menurut saya ya diberikan sanksi tegas lah kalau memang kader aktif, dikembalikan kepada AD/ART, apa dikasih surat peringatan, dan kalau ada proses hukum di sana ya diproses saja secara hukum," ungkapnya.
Qodari menduga, gerakan manuver tersebut berasal dari dalam internal Partai Demokrat sendiri. Oleh karena itu, Partai Demokrat harus bisa memadamkan sendiri persoalan tersebut.
"Jadi kalau misalnya orang dekat Istana itu berhenti, gerakan semacam ini belum tentu berhenti karena dia berasal dari dalam. Jadi, apinya harus dipadamkan sendiri oleh Partai Demokrat di dalam ya. Entah bagaimana caranya entah dengan komunikasi silaturahmi, akomodasi atau kemudian dipecat dan diproses hukum," tuturnya.
Dari salah satu eks kader yang diduga terlibat manuver politik nama Marzuki Alie mencuat. Ketika dihubungi, ia tidak mengiyakan atau menampik kabar tersebut. Sebaliknya, ia meminta partai Demokrat atau pihak yang ingin mengudeta untuk mengklarifikasinya.
"Saya nggak ada waktu untuk urusan-urusan Partai Demokrat ini,’’ ujar dia ketika dihubungi Republika.
Dia menjelaskan, di dalam tubuh partai, selalu ada intrik baik di dalam maupun dari pihak luar. Semuanya, ia sebut berujung pada kepentingan.
‘’Seandainya partai dikelola secara profesional, tidak perlu khawatir adanya gerakan yang dilakukan secara inkonstitusional,’’ tambah dia. Dia menyebut, semua yang terjadi saat ini, kembali pada diri masing-masing dan figur pemimpin.
Lanjut dia, ketika Susilo Bambang Yudhoyono mengajaknya bergabung ke Demokrat pada 2003 silam, ia bercita-cita untuk menjadikan partai tersebut partai modern. Menurutnya, hal itu juga menjadi janji dari SBY saat mengajaknya masuk partai.
Partai modern, kata dia, harus dibangun dengan sistem yang kuat, kaderisasi terprogram dan berkelanjutan serta gradual. Sehingga, partai ke depannya dipastikan akan menghasilkan partai yang tahan dari terpaan manapun.
‘’Menurut saya tidak perlu terlalu dibesar besarkan (isu kudeta), apalagi melibatkan Presiden untuk urusan internal partai,’’ tambah dia.
Katanya, dengan menyeret Presiden, tidak memberikan jaminan jika Presiden Jokowi akan turun tangan. Terlebih, ketika argumen AHY disebutnya juga ikut menuduh Presiden Jokowi terlibat di dalamnya.
‘’Bangun saja soliditas partai, partai yang solid dan kuat tidak akan goyah pengaruh dari luar,’’ ungkapnya.