Sifat Yazid di Balik Pemaksaan Baiat Husain Cucu Rasulullah
Sifat keras Yazid di balik pemaksaan baiat kepada Husain cucu Rasulullah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Setelah khalifah Muawiyah meninggal dunia pada 60 Hijriyah, kekuasaan pun diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Fokus pertama Yazid setelah menjadi khalifah adalah mengambil baiat dari orang-orang yang menolak dirinya saat ayahnya masih hidup, menurutnya, tokoh yang paling penting adalah, cucu Rasulullah SAW yaitu al-Husain bin Ali.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, Yazid lantas mengirim surat kepada al-Walid bin Utbah agar segera menyelesaikan masalah ini.
Hanya saja, al-Walid tidak terlalu mempermasalahkan sikap al-Husain dan Abdullah bin az-Zubair yang belum mau berbaiat kepada Yazid.
Al-Walid sendiri adalah sosok yang lembut, santun, dan suka memaafkan (lihat Al-Akhbar ath-Thiwal). Dia juga takut akan siksa Allah SWT jika sampai memaksa al-Husain untuk berbaiat kepada Yazid, atau menghukumnya jika menolak berbaiat (Lihat Tarikh ath-Thabari).
Adapun Yazid merupakan seorang yang berwatak keras dan kaku, karenanya dia bersikeras menuntut baiat dari al-Hasan dan Ibnu Zubair. Watak keras ini muncul sejak dia menjadi penguasa bahkan terus menyertainya hingga meninggal dunia, selama itu dia tidak mampu melepaskan diri dari tabiat buruk ini.
Akibat sikapnya itu, serangkaian kesalahan datang silih berganti dalam kehidupannya. Setiap kali dia kalut dalam menghadapi permasalahan yang ada, setiap kali itu pula kekeliruan langkahnya bertambah besar dan persoalan menjadi kian pelik. Akibatnya, ketika bermaksud memecahkan suatu masalah, dia justru terjerumus ke dalam masalah lain yang lebih fatal dan lebih mengerikan.
Mulai dari sikap represifnya terhadap penolakan sejumlah orang untuk berbaiat kepadanya, sampai pembentukan pasukan untuk memerangi orang-orang tersebut yang berujung pada perang di Karbala.
Sejarah mencatat bahwa perang di Karbala...
Sejarah mencatat bahwa perang di Karbala itulah yang mengakibatkan terbunuhnya al-Husain, cucu Rasulullah ﷺ, sehingga memicu kemarahan kaum Muslimin. Peristiwa itu pula yang memicu Ibnuz Zubair mengumumkan sikap oposisinya terhadap sang Khalifah.
Permusuhan dan kebencian terus berlanjut hingga meletuslah peristiwa Hurrah (di Madinah) yang semakin mencoreng citra Yazid di mata kaum Muslimin. Dan tidak lama setelah peristiwa itu, Yazid pun meninggal dunia.
Siapa saja yang mencermati gaya kepemimpinan Yazid tentu akan heran dan bertanya-tanya: "Ke manakah raibnya sikap bijak Muawiyah dari diri putranya ini saat berkuasa?" Kemungkinan besar, yang mendorong Yazid jatuh dalam berbagai kekeliruan ini adalah faktor usianya yang masih muda dan minimnya pengalaman.
Ditambah lagi, tidak adanya para penasihat yang bijak di dekatnya dan lemahnya keinginan Yazid untuk mencari solusi damai. Akibatnya, sejumlah tragedi besar pun terjadi pada masa kekuasaannya, seperti terbunuhnya al-Husain, meletusnya pertempuran Hurrah di Madinah, dan pengepungan Kota Makkah.
Yazid mencoreng masa kekuasaannya dengan aib yang tidak akan terhapus air laut sekalipun, dan kegetirannya tidak akan hilang oleh tawarnya air sungai (lihat Al-Umawiyyun bainasy Syarq wal Gharb).
Sikap keras Yazid agar al-Husain dan Ibnuz Zubair berbaiat kepadanya merupakan api pertama yang menyulut pertikaian di tengah kaum Muslimin.
Sementara itu, al-Husain dan Ibnuz Zubair menyadari bahwa keduanya sedang dicari-cari. Jika mereka tetap tidak mau berbaiat, bisa dipastikan mereka akan menjadi korban kekalutan Yazid, pedang para pengikutnya akan terhunus untuk mereka.
Akhirnya, pada tengah malam al-Husain dan Ibnuz Zubair meninggalkan Madinah menuju Baitul Haram, Makkah. Keduanya mencari perlindungan di Makkah untuk keamanan jiwa mereka.
Keduanya sadar betul bahwa mereka tidak akan aman dan selamat hingga memobilisasi para pembelanya di tempat yang sulit diserang pasukan Yazid, dan tempat itu adalah Baitul Haram, di Makkah, seperti yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا "... Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia..." (QS Ali Imran ayat 97).