Vaksinasi, Anggota DPR Sayangkan Sikap Represif Pemerintah

Perpres No 99 terkait Vaksinasi lebih menekankan pendekatan represif dari persuasif

EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Petugas kesehatan bersiap untuk memberikan vaksin COVID-19, (ilustrasi).
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati, mengaku resah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksin dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Ia menyayangkan peraturan tersebut yang lebih menekankan pada pendekatan represif ketimbang tindakan persuasif.

"Sikap pemerintah yang menggunakan bansos sebagai alat agar masyarakat menjadi patuh merupakan tindakan yang sangat disayangkan. Masyarakat kita banyak yang belum teredukasi terkait program vaksin ini. Sebagian masyarakat bahkan masih merasa khawatir dan takut untuk divaksin," kata Mufida saat dikonfirmasi, Senin (15/2).

Ia juga menilai keputusan tersebut telah melanggar kesepakatan dalam rapat kerja antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Komisi IX DPR. Ketika itu Pemerintah sepakat dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Menteri Kesehatan pada 14 Januari 2021 salah satunya menyepakati tidak mengedepankan ketentuan peraturan denda dan atau pidana untuk menerima vaksinasi Covid-19.

"Kami ingatkan pemerintah hasil Rapat Kerja Komisi antara DPR dan Pemerintah sesuai UUMD3 pasal 98 ayat 6 menyebut kesimpulan rapat kerja antara DPR dan pemerintah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pemerintah. Keluarnya Perpres soal sanksi vaksinasi mencederai kesimpulan Rapat Kerja ini," ujar Mufida.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu memandang sosialisasi vaksinasi belum menjamah seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan informasi apapun terkait program vaksinasi dari Pemerintah.

Dirinya mengimbau agar Pemerintah seharusnya fokus pada sosialisasi dan evaluasi pengadaan serta pelaksanaan vaksinasi yang sudah dilakukan. Dengan demikian diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan kesadaran dalam melaksanakan program vaksin akan timbul dengan sendirinya.

"Masyarakat akan dengan ikhlas dan sukarela divaksin tanpa adanya ancaman-ancaman yang sebetulnya tidak perlu," tegas Mufida.

Ia khawatir jika pemerintah lalai melaksanakan sosialiasi dan edukasi program vaksin, maka akan menimbulkan kekacauan dan masalah yang tidak diinginkan. Bisa saja dalam pelaksanaanya masyarakat ikut vaksin hanya karena takut bansosnya dihentikan lalu mereka mengabaikan ketentuan dan persyaratan bagi penerima vaksin, mengaku sehat dan mengisi lembar screening asal-asalan.

"Hal ini dapat menimbulkan adanya kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI)," ucapnya.

Ia mengatakan, pemerintah memang sudah menyiapkan program untuk menanggulangi terjadinya KIPI. Namun jika terlalu banyak KIPI, ini bisa menimbulkan masalah baru dan masyarakat yang belum divaksin menjadi khawatir dan tidak mau divaksin.

Baca Juga


Diberitakan sebelumnya Pemerintah akan memberikan sanksi bagi masyarakat yang terdaftar sebagai penerima vaksin Covid-19 dan menolak mengikuti vaksinasi. Hal ini diatur dalam Pasal 13A ayat (4) dalam Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

"Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif," bunyi Pasal 13A ayat (4).

Dalam pasal tersebut dijelaskan, sanksi administratif yang diberikan dapat berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan juga denda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler