Klaster Pesantren yang Masih Terus Terjadi di Jabar
Wagub Jabar sebut klaster pesantren hanya capai 0,02 persen dari total pesantren.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P, Rr Laeny Sulistyawati
Klaster penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren di Jawa Barat (Jabar) terus bermunculan. Terbaru, ratusan santri dan pengajar di Pesantren Persis 67 Benda Kota Tasikmalaya dinyatakan terkonfirmasi positif Covid-19.
Wakil Gubernur (Wagub) Jabar, Uu Ruzhanul Ulum, mengatakan, penyebaran Covid-19 di lingkungan pesantren tak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pesantren yang ada. Menurut dia, secara presentase hanya 0,02 persen dari keseluruhan pesantren di Jabar yang muncul kasus Covid-19.
"Klaster pesantren tidak banyak, hanya beberapa titik. Dari 100 persen pondok pesantren yang mengadakan proses belajar mengajar hanya 0,02 persen yang ada kasus seperti ini," kata dia di Tasikmalaya, Kamis (18/2).
Ia menyebutkan, terdapat sekira 17 ribu pesantren di Jabar dengan total santri sebanyak 4,3 juta. Namun, kasus Covid-19 di lingkungan pesantren hanya muncul di Kuningan, Tasikmalaya, Cianjur, dan Garut. Menurut dia, tak ada kasus klaster pesantren di luar daerah tersebut.
Kendati demikian, berdasarkan catatan Republika, klaster pesantren di Tasikmalaya bukan baru pertama muncul. Baik di kabupaten maupun kota, sejumlah pesantren telah menjadi klaster penyebaran Covid-19.
Sebelum kasus di Pesantren Persis 67 Benda Kota Tasikmalaya, Pesantren Al Kautsar di Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, juga menjadi klaster penyebaran Covid-19 pada Januari. Jauh sebelum itu, sejumlah pesantren di Kabupaten/Kota Tasikmalaya juga telah lebih dulu menjasi klaster penyebaran Covid-19. Di Kabupaten Garut, beberapa pesantren juga sempat menjadi klaster penyebaran Covid-19.
Namun, Uu menilai, para pengurus pesantren telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam menjaga protokol kesehatan (prokes). "Adapun kejadian seperti di sini (Pesantren Persis), sudah di luar kendali. Sebab, prokes dilakukan maksimal, tapi Allah yang menentukan," ujar dia.
Ia mengatakan, penanganan klaster pesantren tak bisa dilakukan hanya dengan saling menyalahkan. Apalagi sampai menyalahkan pihak pesantren. "Saya tidak suka, karena di pesantren banyak kiai dan ulama yang kita harus hormati. Kita harus cari solusi," kata dia.
Uu menyebutkan, sejumlah pihak sudah melakukan penanganan klaster Pesantren Persis dengan melakukan pengetesan, pelacakan, dan pengobatan. Proses belajar mengajar di pesantren juga telah dihentikan sementara waktu.
Sementara itu, santri yang terkonfirmasi positif telah diisolasi dan yang negatif secara bertahap dipulangkan. "Pesantren juga di-lockdown, tidak ada keluar masuk bebas. Semua sudah dilaksanakan sempurna oleh pesantren," kata dia.
Untuk mencegah munculnya kembali kasus Covid-19 di lingkungan pesantren, Uu mengatakan, pihaknya akan mengadakan rapat dengan kiai dab ulama untuk mengingatkan kembali tentang penerapan prokes. Sebab, pandemi Covid-19 sudah terjadi lama. Kemungkinan, pesnatren juga sudah jenuh, sehingga ada hal-hal yang diabaikan, padahal itu prinsip dalam mencegah penyebaran Covid-19.
Ia menilai, dari sejumlah pesantren yang menjadi klaster penyebaran Covid-19 yang didatanginya, kasus muncul karena pihak pesantren mulai teledor dalam penerapan prokes. "Tidak melakukan dengan prokes ketat," kata dia.
Uu menambahkan, satgas penanganan di kabupaten/kota juga mesti aktif melakukan sosialisasi dan inspeksi ke pesantren. Dengan begitu, penerapan prokes dapat selalu terpantau.
"Saya juga ingatkan para santri untuk tetap taat prokes. Santri harus jadi pelopor kesehatan. Izin untuk pesantren (beraktivitas) akan terus diberikan," kata dia.
Berdasarkan data terakhir dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, setidaknya terdapat 383 orang di lingkungan pesantren itu yang terkonfirmasi positif Covid-19. Sebanyak 333 orang merupakan santri dan 50 pengajar dan karyawan pesantren.
Mereka yang terkonfirmasi positif diisolasi tersebar di sejumlah tempat, yaitu 110 orang di Hotel Crown, 55 orang di Rumah Sakit Dewi Sartika, lima orang di RSUD dr Soekardjo, 175 orang di pesantren, satu orang di RSHS, satu orang di Puskesmas Lakbok Ciamis, tiga orang telah pulang, dan 32 orang isolasi mandiri.
Sementara untuk sekitar 457 santri yang negatif sudah mulai dipulangkan sejak Selasa pagi. Pemulangan santri yang negatif itu ditarget selesai hari ini.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, Asep Hendra, menambahkan, proses penjemputan santri negatif telah diatur sedemikian rupa agar tetap meperhatikan protokol kesehatan (prokes). Penjemput santri tidak boleh banyak-banyak, hanya hanya satu orang yang jemput. Sebab, posisi santri adalah kontak erat. Artinya saat menunggu hasil uji swab kemarin, mereka belum dipisahkan dengan yang positif.
Penjemput juga tidak diperkenankan turun dari kendaraan di area pesantren. "Jadi mobil masuk pesantren, santri masuk, mobil jalan lagi. Jadi tidak ada orang yang lama-lama, lihat-lihat pesantren," kata dia.
Terakhir, santri yang dipulangkan juga harus menjalani isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Santri juga mesti lapor ke RT/RW dan puskesmas setempat. Jika dimungkinkan, santri juga diminta melakukan tes swab mandiri untuk memastikan lagi kondisinya.
"Nanti kamar yang kosong akan digunakan untuk santri yang isolasi di pesantren. Jadi santri yang positif isolasinya tidak numpuk," kata dia.
Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Tasikmalaya, Muhammad Yusuf, mengatakan, pihaknya melakukan karantina mikro lingkungan pesantren tersebut. Artinya, tak diperbolehkan aktivitas keluar masuk lingkungan pesantren dengan bebas.
"Dijaga oleh aparatur, termasuk dari kelurahan. Yang negatif sudah dipisahkan, ada juga yang dipulangkan," kata dia.
Yusuf mengatakan, klaster pesantren baru memang menjadi permasalahan tersendiri. Namun, ia optimistis klaster pesantren kali ini bisa tertangani dengan baik. Sebab, Pemkot Tasikmalaya sudah memiliki pengalaman dalam menangani klaster pesantren.
Koordinator Forum Pondok Pesantren (FPP) Priangan Timur, KH Yusuf Roni, prihatin dan menyayangkan munculnya lagi klaster pesantren. Ia mengaku sedah melakukan pembinaan penanggulangan Covid-19 di lingkungan pesantren. Artinya, penerapan prokes di pesantren harus terus diawasi.
"Apalagi kalau ada santri yang baru datang dari luar daerah," kata dia. Ia juga meminta pengurus pesantren lebih ketat dalam pengawasan aktivitas keluar masuk lingkungan pesantren. Dengan begitu, penularan virus dari luar bisa diminimalisir.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menyebutkan penanganan virus corona SARS-CoV2 di ponpes bersifat kompleks. "Pada prinsipnya penanganan Covid-19 bersifat kompleks sehingga membutuhkan pendekatan kolaboratif, termasuk dengan berbagai elemen di pondok pesantren," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito saat dihubungi Republika.
Dalam wawancara yang dilakukan bulan Desember 2020, Wiku mengatakan, kegiatan yang melibatkan banyak orang dan mengharuskan untuk bertatap muka memiliki peluang terjadinya penularan Covid-19 yang lebih tinggi. Dia mengatakan, timbulnya klaster di beberapa pesantren terjadi akibat sulitnya untuk mengendalikan transmisi virus baik penularan yang terjadi di pesantren atau penularan virus yang terbawa dari luar lingkungan pesantren.
"Melihat kasus klaster Covid-19 di lingkungan pesantren yang tidak sedikit maka pemerintah sudah berupaya menggandeng lembaga, satuan komunitas, dan penyelenggara terkait untuk bekerja sama menyosialisasikan dan mewujudkan lingkungan yang berbudaya disiplin protokol kesehatan," ujarnya.
Ia optimistis kasus Covid-19 di ponpes bisa ditangani asalkan semua penyelenggaranya komitmen disiplin menerapkan protokol kesehatan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun.