Napoleon Sebut Dirinya Korban Kriminalisasi dan Malpraktik

Kriminalisasi yang dimaksud adalah penegakan hukum yang terkesan tak berdasar.

GALIH PRADIPTA/ANTARA
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  - Sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice untuk Djoko Tjandra dengan terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte sudah memasuk tahap pembelaan atau pledoi. Dalam nota pembelaannya, Mantan Kadiv Hubinter Polri itu menyebut dirinya menjadi korban kriminalisasi dan malpraktik penegakan hukum guna menjaga marwah institusi Polri. 


"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," kata Napoleon di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2).

Kriminalisasi dan malpraktik yang dimaksud Napoleon yakni penegakan hukum yang terkesan tak berdasar. Sebab, penindakan hukum yang akhirnya berujung terseretnya Napoleon hanya karena menurunnya citra institusi Polri imbas tertangkapnya Djoko Tjandra.

"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan, yang telah menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah. Sehingga memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," tutur Napoleon.

"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," tambahnya. 

 

 

Terlebih, munculnya foto yang memperlihatkan surat keterangan bebas Covid-19 dengan nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan Anita Kolopaking dengan tanda tangan dari Pusdokes Polri. Hal itu pun membuat kepercayaan atas institusi Polri semakin menurun dan muncul anggapan jika Polri merupakan biang keladi rentetan perkara Djoko Tjandra.

"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," tegasnya. 

Sebelumnya, penuntut umum meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun pidana penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Irjen Napoleon Bonaparte. Ia diyakini menerima suap sebesar 200 ribu dollar AS dan 270 ribu dollar AS melalui pengusaha Tommy Sumardi. Suap tersebut bertujuan untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice interpol Polri, karena saat itu Djoko Tjandra masih berstatus DPO dalam kasus hak tagih bank Bali.

 

Napoleon didakwa sebagai penerima suap bersama dengan Brigjen Prasetijo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Dalam dakwan itu Brigjen Prasetijo disebut menerima uang sebesar 100 ribu dolar AS. Napoleon dianggap telah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler