Jimly: Kebebasan Medsos Sebaiknya Dihadapi dengan Teknologi

Sanksi pemblokiran, penutupan akun, hingga blacklisting akan jauh berdampak positif.

Darmawan / Republika
Jimly Assidiqie.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, kebebasan di media sosial akibat disrupsi teknologi, sebaiknya dihadapi dengan teknologi. Dia juga menekankan, agar disrupsi tersebut tidak diiringi dengan hukum pidana.


"Cukup dengan memanfaatkan teknologi saja," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara UI itu kepada Republika, Kamis (25/2).

Menurut dia, virtual police yang baru saja diresmikan untuk beroperasi, sebaiknya hanya difokuskan pada peringatan. Sehingga, keberadaan ancaman pidana dalam UU ITE menyoal hal tersebut secara umum, dia sarankan bisa dievaluasi.

"Itu untuk dievaluasi manfaat dan mudaratnya," ucap Ketua ICMI tersebut.

Jimly menilai, pemblokiran, penutupan akun, hingga blacklisting akan jauh berdampak positif pada iklim demokrasi. Khususnya, jika dibandingkan sanksi multitafsir yang kini ada di UU ITE. 

Dia menegaskan, ada hal penting lain setelah peringatan sanksi final dikenakan dalam aktivitas di media sosial, yaitu blokir dan penutupan akun. Upaya itu, kata dia, bisa dilakukan oleh sistem yang dikendalikan negara.

Sebelumnya, Korps Bhayangkara resmi mengoperasikan virtual Police. Unit dari gagasan Kapolri Listyo Sigit Prabowo itu, dibentuk untuk mencegah tindak pidana UU ITE.

Dalam keterangannya di Mabes Rabu (24/2) kemarin, Kadiv Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono menerangkan, hadirnya polisi di ranah digital merupakan bentuk pemeliharaan Kamtibmas. Sehingga, wilayah siber, kata dia, bisa berkesinambungan dengan baik.

Sebagai informasi, petugas yang dibentuk Polri itu ke depannya akan mengedukasi konten yang tersebar bila berpotensi melanggar tindak pidana. Sesuai urutannya, virtual police akan memberikan peringatan apabila unggahan berpotensi melanggar pidana.

Peringatan itu, nantinya akan masuk ke kolom pesan atau pemilik akun pengunggah konten tersebut. Jika peringatan telah diterima, polisi akan meminta pemilik akun untuk menghapus unggahannya tersebut. Peringatan akan terus dilakukan hingga ada pihak yang merasa dirugikan.

Jika ada yang melapor dan merasa dirugikan, maka pihak polisi virtual itu akan memfasilitasi kedua pihak sehingga ada jalan damai lewat proses mediasi. "Penegakan hukum di akhir," ungkap Argo kemarin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler