Pidato Husain Cucu Nabi yang Sadarkan Sebagian Pasukan Kufah
Cucu Nabi Muhammad SAW, Husain sampaikan pidato terakhir
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perang Thaf di Karbala berujung pada kematian al-Husain. Tragedi pada tahun 61 Hijriyah itu merupakan musibah yang begitu besar.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, pada saat kedua kubu saling berhadapan dalam Perang Thaf, al-Husain maju ke hadapan mereka untuk menyampaikan nasihat terakhirnya sebelum perang berkecamuk.
Cucu Nabi Muhammad SAW ini ingin mengingatkan mereka untuk yang terakhir kali, tentang keutamaan dirinya di hadapan mereka dan di mata Rasulullah.
Al-Husain berkata: "Wahai kalian semua, dengarkanlah nasihatku ini". Semua orang terdiam menyimak apa yang akan dikatakannya. Setelah memanjatkan puji kepada Allah, dia mengatakan: "Wahai kalian semua! Seandainya kalian menerima nasihatku ini dan bersikap adil terhadapku, niscaya kalian akan lebih bahagia karena tidak satu alasan pun bagi kalian untuk menyerangku. Tetapi jika kalian menolaknya, maka bulatkanlah tekad kalian dan kumpulkanlah semua sekutu kalian untuk membunuhku. Jangan ragu sedikit pun untuk melakukannya. Segeralah kalian lakukan yang kalian mau terhadapku dan janganlah ditunda lagi. Pelindungku hanyalah Allah, Dialah yang telah menurunkan Alquran, dan Dia pula yang menjaga orang-orang saleh".
Mendengar awal khutbah ini, saudari-saudari dan anak-anak perempuan al-Husain menangis keras. Al-Husain pun bergumam: "Allah telah membuktikan kebenaran saran Ibnu Abbas!". Adapun Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) pernah menyarankan al-Husain agar tidak membawa kaum wanita, tetapi meninggalkan mereka di Makkah hingga situasinya aman terkendali. Al-Husain kemudian memerintahkan saudaranya, al-Abbas bin Ali, untuk menenangkan para wanita itu.
Al-Husain pun melanjutkan khutbahnya: "Tanyalah kepada diri kalian sendiri, pantaskah kalian memerangi orang yang sepertiku, sementara aku adalah cucu Nabi kalian, dan akulah satu-satunya cucu beliau yang masih hidup di muka bumi? Ingatlah oleh kalian, Ali adalah ayahku, Ja'far ath-Thayyar adalah pamanku, dan Hamzah sang pemimpin para syuhada adalah kakekku. Ingat pula bahwa Rasulullah pernah bersabda bahwa aku dan saudaraku (al-Hasan) akan menjadi pemimpin para pemuda penghuni Surga".
Kemudian, al-Husain menegaskan nasihatnya tersebut: "Seharusnya kalian mempercayai kata-kataku ini, karena itulah sikap yang benar. Demi Allah, aku tidak pernah berdusta sejak mengetahui bahwa Allah membenci kedustaan. Tetapi jika kalian tidak percaya, silakan tanyakanlah hal itu kepada para Sahabat Rasulullah yang masih hidup. Bertanyalah kepada Jabir bin Abdullah, Abu Sa'id al-Khudri, Sahal bin Sa'ad, Zaid bin Arqam, dan Anas bin Malik, niscaya mereka akan menyampaikan hal yang sama kepada kalian. Celakalah kalian semua! Tidakkah kalian takut kepada Allah? Bukankah seharusnya perkataanku ini bisa mencegah kalian dari menumpahkan darahku?"
Syamr bin Dzul Jausyan, yang sejak awal..
Syamr bin Dzul Jausyan, yang sejak awal membenci al-Husain, menanggapi: "Seandainya orang ini sadar apa yang diucapkannya, pastilah dia juga sadar bahwa selama ini dia menyembah Allah setengah-setengah, tidak sepenuh hati!"
Mendengar celaan itu, Habib bin Muthahhir, salah seorang pembela al-Husain-menyahut: "Hai Syamr! Demi Allah, kamulah yang selama ini menyembah Allah setengah-setengah, bahkan di atas tujuh puluh keraguan. Demi Allah, kami paham betul apa yang diucapkannya. Sungguh, hatimu benar-benar telah terkunci rapat!"
Al-Husain meneruskan khutbahnya: "Wahai kalian semua! Biarkanlah aku kembali ke tempat yang aman". Al-Husain kemudian menderumkan untanya, lalu dia memerintahkan Uqbah bin Sam'an untuk menambatkan unta tersebut. Lalu dia berkata: "Sekarang katakan padaku, apakah kalian ingin menuntut balas atas kematian keluarga kalian yang telah kubunuh? Ataukah menuntut harta yang pernah kurampas? Ataukah menuntut balas atas luka yang pernah kugoreskan?" Mendengar pertanyaan demikian, pasukan Kufah terdiam seribu bahasa. (Lihat Tarikh ath-Thabari).
Al-Husain sempat terkejut ketika melihat para pemimpin Kufah yang dahulu mengirim surat pembaiatan dirinya, ternyata kini mereka berdiri di hadapannya untuk membunuhnya. Dia pun memanggil nama mereka satu per satu: "Wahai Syabats bin Rib'i, wahai Hajjar bin Abjur, wahai Qais bin al-Asy'ats, wahai Yazid bin al-Harits! Bukankah kalian yang dahulu mengirim surat padaku dan mengisyaratkan bahwa buah sudah matang dan sawah ladang sudah menghijau? Kalian juga yang menyatakan: 'Sesungguhnya kami adalah prajurit pembela yang berjumlah banyak, maka datanglah kepada kami'."
"Tidak, kami tidak pernah mengirim surat demikian," sangkal mereka.
"Mahasuci Allah! Demi Allah, kalian pernah mengirim surat demikian kepadaku," tegas al-Husain. Lalu dia berkata: "Wahai kalian semua! Cukuplah bagi kalian membenciku, dan biarkan aku pulang meninggalkan kalian menuju tempat yang aman." (Lihat Al Bidayah wan Nihayah).
Bayangkan, betapa keji pengkhianatan penduduk Kufah ketika itu. Mereka tidak sekadar menelantarkan al-Husain, tetapi mereka tidak malu sedikit pun untuk bergabung dengan pasukan yang siap memerangi cucu Rasulullah ini.
Al-Husain terus berusaha menyadarkan pasukan Kufah agar bergabung dengannya. Upayanya itu tidak sia-sia, tiga puluh orang dari mereka lantas menggabungkan diri dengan pasukan al-Husain, salah satunya adalah al-Hurr bin Yazid at-Tamimi. Sebelumnya, al-Hurr adalah komandan pasukan perintis yang dikirim Ubaidullah bin Ziyad.
Melihat pembelotan al-Hurr dari pasukan Kufah, seseorang berseru kepadanya: "Kamu datang bersama kami sebagai komandan pasukan perintis, tetapi kini kamu justru bergabung dengan al-Husain!"
Al-Hurr menjawab: "Demi Allah, aku mempersilakan hatiku memilih antara surga dan neraka, dan dia pun memilih Surga meskipun ragaku harus dicincang dan dibakar". Dia segera memacu kudanya untuk bergabung dengan pasukan al-Husain. ( Lihat Tarikh ath-Thabari).