Pascaserangan, Muslimah Kulit Hitam di Edmonton Ketakutan
Muslimah di Edmonton diminta waspada saat berada di angkutan umum.
REPUBLIKA.CO.ID, EDMONTON -- Saking seringnya serangan menimpa wanita kulit hitam yang menggunakan jilbab di Edmonton, Kanada, mereka enggan melapor kepada polisi.
Seorang wanita berinisial H mengatakan serangan itu bisa terjadi ketika dia sedang menjalankan tugas atau dalam perjalanan ke tempat kerja, Somalia-Kanada.
H dan beberapa wanita kulit hitam dan Muslim lainnya merasa lebih takut di depan umum pascapeningkatan jumlah penyerangan. Dalam 10 minggu terakhir, lima orang wanita Somalia-Kanada yang mengenakan jilbab diserang dan mendapatkan ancaman di Edmonton.
"Saya selalu sangat waspada di ruang publik karena identitas saya. Tapi mendengar tentang serangan ini membuat saya semakin cemas dan sadar akan lingkungan saya,” ujar H dilansir dari Toronto City News, Rabu (3/3).
H mengaku pernah menjadi korban penyerangan di masa lalu, namun menolak menceritakan detail kejadiannya karena terlalu trauma. Ia hanya menyarankan agar waspada di angkutan umum, tidak menjalankan tugas sendirian, dan mempertimbangkan mengikuti kelas bela diri.
Masjid Al-Rashid Edmonton mulai menawarkan pelajaran bela diri untuk wanita Muslim setelah serangan baru-baru ini. Sayangnya kelas langsung penuh setelah dibuka.
H mengatakan, jumlah kejahatan rasial yang dilaporkan kepada polisi Alberta tidak mencerminkan peningkatan jumlah orang yang mendekatinya dengan cerita penyerangan mereka. “Itu membuat saya marah,” ujarnya.
Sebagian besar teman dan anggota keluarganya juga seorang Muslim yang memiliki cerita tentang Islamofobia. Namun masyarakat umum mendengar tentang ini melalui media.
Anggota Komite Penasihat Antirasalisme Edmonton Trent Daley mengatakan mereka yang mengadu mendapatkan serangan kebanyakan adalah wanita kulit hitam dan Muslim. “Ada peningkatan yang mencolok (dalam serangan) setelah pandemi. Ini sangat menyebar sekarang. Penuh dengan julukan rasial, penuh dengan bahasa menjijikkan yang menargetkan mereka berdasarkan jilbab yang mereka kenakan dan identitas mereka. Itu tidak manusiawi,” kata Daley.
Polisi Calgary mengatakan mereka menerima 80 pengaduan kejahatan rasial dari Januari hingga November 2020. Sedangkan Cheryl Voordenhout dari Layanan Kepolisian Edmonton mengatakan, menerima 60 laporan kejahatan rasial tahun lalu.
Pada 8 Desember, seorang ibu dan putrinya diserang dengan kejam di tempat parkir mal Southgate. Seminggu kemudian, di dekat mal yang sama, seorang wanita lain menjadi sasaran penghinaan rasial ketika seseorang mencoba memukul kepalanya dengan tas belanja.
Pada Februari, seorang pria membuat komentar rasial dan menjadi agresif terhadap seorang wanita di pusat transit Universitas Alberta. Pada hari yang sama, seorang pria muncul di belakang seorang wanita yang berjalan di lingkungan yang populer, mendorongnya ke tanah dan mengancam akan membunuhnya serta merobek burqanya.
Serangan terbaru terjadi pada 17 Februari. Dewan Nasional Muslim Kanada mengatakan seorang pria mendekati seorang wanita Muslim berkulit hitam yang mengenakan jilbab di stasiun transit Century Park, mengumpat dan mengancam akan membunuhnya.
Para pemimpin politik, termasuk Perdana Menteri Jason Kenney, angkat bicara menentang serangan tersebut. Tapi CEO Dewan Muslim Nasional mengatakan kecaman saja tidak cukup.
Mustafa Farooq mengatakan pemerintah Alberta menutup mata terhadap lingkungan di mana komunitas rasial di kawasan itu diusir. "Rasisme Anti-Hitam adalah masalah nyata di Alberta,” katanya.
"Begitu banyak yang bisa dilakukan dengan segera, tapi itu tidak terjadi," katanya.
Daley menambahkan aksi unjuk rasa dan pawai baru-baru ini di Edmonton dan Calgary untuk menentang tindakan Covid-19 adalah contoh bagaimana pandemi telah memperburuk rasialisme di Alberta. Beberapa peserta terlihat membawa obor tiki, yang menurut banyak orang merupakan simbol yang digunakan oleh para supremasi kulit putih.