Iran akan Hentikan Aktivitas Nuklir Jika AS Cabut Sanksi

AS berusaha mengeluarkan proposal baru untuk nuklir Iran

EPA
Pria berjalan dengan latar mural bendera Iran. Pemerintah Iran berencana untuk memperkaya uranium hingga 20 persen di fasilitas nuklir bawah tanah Fordo secepat mungkin.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Seorang pejabat senior Iran yang tidak disebutkan namanya baru-baru ini mengungkapkan bahwa Iran akan menghentikan pengayaan uranium 20 persen. Menurut pejabat itu, pengayaan uranium akan dihentikan "hanya jika AS mencabut semua sanksi" yang dijatuhkan di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump dan telah dipertahankan oleh Gedung Putih di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.

Baca Juga


Pejabat Iran mengatakan kepada Press TV bahwa, pengayaan 20 persen uranium sejalan dengan Paragraf 36 Rencana Aksi Komprehensif Bersama 2015 atau JCPOA. Pengayaan uranium akan dihentikan jika AS mencabut semua sanksi.

"Pemerintahan Biden kehilangan waktu, dan jika gagal untuk segera mencabut sanksi, Iran akan mengambil langkah selanjutnya, yang akan mengurangi komitmennya terhadap kesepakatan nuklir," kata pejabat senior itu, dilansir Sputnik News, Selasa (30/3).

Pernyataan pejabat senior itu sebagai tanggapan atas laporan dari Politico bahwa AS berusaha mengeluarkan proposal baru, yang mengharuskan Iran untuk melonggarkan praktik nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi AS. Proposal itu belum dikonfirmasi oleh pemerintahan Biden. Namun diharapkan dapat  meminta Iran menghentikan penggunaan sentrifugal canggih dan penarikan kembali pengayaan pasokan uranium hingga kemurnian 20 persen.

Seorang pejabat senior pemerintahan Biden tidak memberikan rincian tentang percakapan yang mengarah ke proposal tersebut. Tetapi dia menegaskan bahwa, "Kami siap untuk mengejar pengembalian bersama ke (kesepakatan Iran)."

Proposal yang diduga telah dibuat oleh pemerintahan Biden dijadwalkan akan dikeluarkan pada pekan ini. Prposal itu dapat menjadi panggung untuk pembicaraan di masa depan antara AS dan Iran. Namun, kurangnya hubungan diplomatik menjadi salah satu rintangan terbesar dalam mencapai negosiasi nuklir.

Shahrokh Nazemi, kepala pers di misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menanggapi pengungkapan Politico dengan menunjukkan bahwa "kesepakatan tidak memerlukan proposal khusus". Menurutnya AS perlu mengikuti komitmen terhadap perjanjian 2015. Sanksi yang diberikan kepada Iran telah menempatkan negara itu dalam situasi yang menantang selama bertahun-tahun.

 

Wakil Kepala Organisasi Energi Atom Iran Mahmoud Jarafi mengatakan kepada kantor berita Isna bahwa, sanksi AS telah menyebabkan kesulitan. Jika tidak ada solusi, maka mereka akan terpaksa berhenti bekerja di Bushehr. Bushehr adalah pabrik yang beroperasi sebagai bagian dari program nuklir bersama antara Iran dan Rusia.

"Karena sanksi (AS), kami memiliki masalah dengan transfer bank, dan jika tidak ada solusi yang ditemukan, kami bahkan akan dipaksa untuk berhenti bekerja  di unit pertama Bushehr," ujar Jarafi.

Moskow telah memperdebatkan penggunaan energi nuklir untuk tujuan sipil di Iran, tetapi sanksi AS telah menjerumuskan negara itu ke dalam krisis ekonomi. Iran telah lama menyatakan bahwa program nuklirnya dimaksudkan untuk tujuan damai dan bukan untuk membuat bom.

Iran tetap kuat dalam penggunaan energi nuklirnya. Belum lama ini Iran memperkuat kesepakatan investasi dengan China. Peningkatan hubungan ekonomi antara Iran dan China diperkirakan akan menimbulkan reaksi dari Amerika Serikat. 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler